Hujan menjelma gerimis ketika aku mengaktifkan ponsel dan memeriksa notifikasi. Seusai makan bersama teman-teman sambil menunggu adzan maghrib. Ada satu pesan yang menarik perhatian. Dari Brian. Singkat, jelas, dan memancing penasaran.
“San”
“Iyaa?”
“Lagi dimana?
“Di kamar. Ada apa?
“Tadi dimana?”
Melihat dia sangat antusias tentang keberadaanku, aku semakin penasaran. Aku tau dia biasa bersikap terlalu baik. Tapi dia tidak biasanya seperti ini. Kupikir telah ada sesuatu yang terjadi. Aku mengabaikan keadaan sekitarku dan merapat ke depan lemari.
***
Secerah siang di musim hujan. Di sinilah aku, depan kost bercat biru. Menunggu seorang yang cukup untuk dibilang teman jika sebutan sahabat terlalu tampak dekat. Namanya, Isna. Aku sudah berjanji mengantarnya bimbingan ke rumah dosen. Yah, mau bagaimana lagi? aku yang belum apa-apa dia sudah ke mana-mana penelitiannya. Sejujurnya aku malu mengantarnya. Takut ditanyai dosen kami. Tapi ya, sudah janji. Harus ditepati. Betul tidak?
Janjinya mau jam satu. Tapi waktu memang begitu. Selalu melebihi kecepatanku. Pada akhirnya, kita berangkat jam dua. Setelah Isna muncul dari balik pintu kamarnya khas dengan senyum mringisnya.
Perjalanan santai dan kami menikmatinya. Rumah dosen kita tidak terlalu jauh. Tidak pula di tengah kota. Tetapi dekat kampus tetangga. Kadang aku berharap bertemu mahasiswanya. Dan harapan itu tak pernah jadi nyata.
Di awal perjalanan, kita mampir ke pom bensin. Setelah mengisi, aku melihat seseorang. Bukan seorang, mereka berdua. Tapi yang kuamati adalah dia yang duduk di jok belakang. Mirip seseorang. Brian.
Ah, tidak mungkin. Sedang apa dia di sini? tanyaku dalam hati. Karena yang aku tahu dia sedang di posko. Iya, dia sedang melakukan pengabdian. Mungkin saja seseorang yang kulihat memang dia. Tapi aku masih meragukannya.
Sekitar tiga puluh menit kita sampai di rumah dosen. Pak Yusuf belum muncul. Kami dipersilahkan masuk oleh ART Pak Yusuf. Sambil menunggu, aku mengamati rak buku Pak Yusuf. “Hmmm, aku pengen deh punya rak kaya gini di rumah. Pengen punya ruang baca khusus yang nyaman di rumah sendiri.”, batinku dalam hati.
“Is, keren banget ya Pak Yusuf. Liat tuh buku-bukunya, banyak bangeeet. Udah gitu ditambah pengalaman di luar negeri. Gila banget yah.”
“Iyalaaah. Makanya, aku pilih jadi dosbing. hahaha”
“Hee, emang dosbingku ga keren apa.” bantahku sambil memukul pelan tangannya.
***
“Tadi pergi, ke rumah dosen.”
“Ngapain?”
“Nemenin Isna bimbingan.”
“Terus kamunya ngapain? Nemenin aja gitu?”
“Iyaa.”
“Oh, yaudah deh.”
“Kenapa?
“Kamu yang mbonceng apa yang dibonceng?”
“Aku yang mbonceng lah.”
“Emang kenapa sih?”
Pesanku tak langsung terbalas. Adzan maghrib berkumandang. Biarlah dia membalas nanti saja. Karena seperti itu dia sudah biasa. Dan aku beranjak mengambil air wudhu dan menunaikaan sholat maghrib berjamaah. Hingga aku kembali ke kamar, ponselku kembali menerima notifikasi. Sebuah pesan masuk.
“Gapapa. Tadi aku mimpi.” Balasnya, yang dapat kulihat di layar kunci.
“Mimpi aku?” jawaban yanng kukirim dengan semakin antusias karena penasaran.
“Ya ngga mimpi kamu sih. Mimpi sama kamu.”
“Maksudnya gitu. Kan sama aja.”
“Iya sih. Jalan-jalan sama kamu. Naik motor. Ada acara angkatan.”
“Kita sama siapa aja?”
“Berdua aja. Nyamperin temen-temen angkatan. Ada temenmu juga, ada temenku juga.”
“Kemana aja itu?”
“Lama kok. Kemana-mana gitu. Jalan-jalan jauh. Ke kota sebelah yang bagian atas juga.”
“Aneh banget ya?”
“Iya. Masalahnya di perjalanan itu kaya gimana ya? aku bersandar ke kamu gitu. Dan naik motornya juga nyantai banget.”
“Itu aku yang dibonceng kan?”
“Iya, jadi aku bersandar ke belakang hahaha”
“Harusnya aku yang nyender kamu.”
“Haha, ngga tahu. Akunya pengen nyantai aja. Lagian, kamu mah iya iya aja. Malah dielus-elus akunya.”
Demi apa dia mimpi sama aku? mungkinkah dia kangen aku sampai terbawa mimpi? ah mimpi aku kalau benar begitu. Bahkan aku tak pernah memimpikan kalau dia kangen aku. Terlalu halu dan terlalu lucu.
“Untung cuma mimpi.”
“Hehe, kalau beneran mah udah ditotok sama kamu.”
“Iyalah. Berani-beraninya. Tak gampar juga itu pasti.”
“Hahaha...”
***
Bimbingan selesai sekitar pukul empat lebih seperempat. Ketika aku dan Isna baru saja keluar mau pulang, tiba-tiba gerimis mendera. Kami menggunakan jas hujan, tetap melanjutkan perjalanan. Jalanan licin. Pandanganku terganggu karena air di kacamataku. Arus jalan cukup ramai. Sampai rumah pukul lima baru kemudian sholat Ashar.
***
“Kamu tidurnya habis ashar ya?”
“Dari sebelum Ashar sih.”
“Tapi kan sampe masuk waktu Ashar.”
“Iya sih.”
“Nah kan. Ga percaya aku tuh kalau kamu tidurnya cuma bentar.”
“Hahaha bener.”
“Terus itu nyampe ngga di tempat tujuan?”
“Yang awal-awal sih nyampe. Tapi yang terakhir kyanya engga. Aku dibangunin buat sholat Ashar jam lima.
***
Aku masuk ke mimpimu. Jalan-jalan disana, naik motor. Pukul lima aku kembali ke dunia nyata. Kita sholat Ashar bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H