Mohon tunggu...
Intan Rohmawati
Intan Rohmawati Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Suka membaca, tapi lebih suka makan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Jalan Menuju Pulang

3 November 2020   15:10 Diperbarui: 4 Maret 2024   22:24 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini aku akan meninggalkan kontrakan. Hanya sebentar. Ibu menyuruhku pulang. Aku belum tahu alasannya. Aku belum tahu kapan akan kembali. Bagiku, kontrakan ini sudah seperti rumah sendiri. Aku akan merindukan suasana yang tercipta disini. Setiap hari. Apalagi malam Minggu. Dimana semua penghuni kontrakan berkumpul untuk bernyanyi sambil diiringi gitar dan tabuhan meja. 

Sampai dini hari. Lalu paginya kami akan bangun kesiangan. Hanya untuk sholat subuh dan lanjut tidur hingga dhuhur. Sama seperti pagi ini. Masih tidur di kasur masing-masing. Nyenyak memeluk guling. Kecuali aku.

Barang sudah kukemas. Aku hanya mengemas apa yang aku perlu. Kamar tak usah kukunci. Di dalam hanya ada spring bed beserta bantal gulingnya, rak buku, meja belajar, dan lemari pakaian. Aku tak punya hal berharga di tempat perantauan ini. Hal berhargaku adalah tempat ini beserta para penghuniya.

Aku mengeluarkan motor maticku. Sebelum kututup pintu utama, kulihat sekali lagi ruang tamu tempat kami berkumpul pada setiap malamnya untuk mengerjakan tugas masing-masing. Disana hanya ada jejeran sofa, satu meja dan televisi. aku berjalan menuju motor. Saat menaiki motor, saat itu juga aku melirik lagi rumah berwarna biru disampingku. Ini juga rumahku. Mereka juga keluargaku. Besok, aku akan kembali.

Jalanan masih lengang sepagi ini. Aku memacu motorku dengan kecepatan tinggi. Jalan raya Pantura selalu memacuku untuk ngebut. Biasanya, hanya butuh dua jam untuk sampai rumah dengan kecepatan sekian. Perjalanan terlamaku ketika melewati jalan-jalan di tengah sawah. Kata temanku, namanya Towang. Jalannya naik turun tidak rata. Terjal pula. 

Siapa yang dapat disalahkan dengan keadaan jalan seperti ini. Pemerintah Desa? atau kah Pemerintah Daerah? bukankah sudah ada dana dari pemerintah untuk membangun? mengapa jalan yang menjadi jalur keluar masuk kampung masih seperti ini? ah iya, ini belum masuk perkampungan. Jadi, aku juga tak tahu ini tanggung jawab siapa. 

Ataukah ini tanggung jawab para pemilik lahan tebu yang menjadikan truk pengangkut tebu mereka merusak jalan karena beban muatannya? entahlah. Aku hanya warga biasa yang tak tahu apa-apa.

Tepat dua jam aku sampai rumah. Saat ini, aku memasuki pelataran rumah. Sepi. Mungkin Ibu sudah ke sawah. Sama sekali tidak ada sambutan untuk kepulanganku. 

Berlebihan sekali aku ini. Apa yang bisa kuharapkan dari seorang yang sudah mulai menua? apalagi menjadi orang tua seorang diri. Sejujurnya aku sudah melarangnya bekerja terlalu keras. Biaya kuliahku sudah bebas. Aku bekerja sampingan untuk memenuhi keperluan sehari-hari dan perlengkapan kuliah. Namun begitulah Ibu. Sangat keras kepala. Ia masih saja memelihara seekor sapi. Sehingga ia harus ke sawah dan mencari rumput.

Ada yang pernah mengatakan padaku bahwa betapa pun kamu rindu pada orang tuamu, rindu orang tuamu akan lebih besar. Hanya saja, mereka lebih berpengalaman dalam menyembunyikannya. Jadi, sepadat apapun kesibukanmu, selagi bisa, sempatkanlah untuk pulang. Sialnya aku percaya kata-kata orang ini. Sepertinya, Ibuku memang terlalu pandai menyembunyikan rindunya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun