Mohon tunggu...
Intan Rifiwanti
Intan Rifiwanti Mohon Tunggu... Guru - Human-ist

Menulis adalah salah satu cara yang baik untuk bicara.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menjemput Pelangi Melalui Bidikmisi

30 Mei 2020   21:00 Diperbarui: 30 Mei 2020   21:07 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku masih sama, belum berubah. Usiaku sekarang tidak jauh dari angka dua puluh. Sekitar sembilan belas tahun dua bulan sekian hari. Usiaku yang setua itu tidak mungkin aku masih memiliki hobi bersembunyi di balik ketiak ibuku. 

Sementara ayahku berada di ruang yang jauh dariku. Dia adalah satu-satunya orang jahat yang pernah aku kenal. Dia membiarkanku tumbuh tanpa ada dia di sampingku.

Ah, tidak begitu. Ayahku adalah seorang bapak yang bertanggung jawab. Justru akulah yang keterlaluan jahatnya bila aku menghakiminya sebagai ayah yang takbaik. Ayahku seorang pedagang di sebuah pasar di Kota Tangerang. Beliau cukup terbilang jarang pulang.

Kadang-kadang dua atau tiga bulan sekali, empat bulan bahkan lebih. Hal itu karena bapak menghemat biaya transportasi Cilacap-Jakarta yang tidak dekat. Jadi, dipuaskannya kerinduan pada keluarga cukup dengan membayangkan saja. Begitu juga denganku.

Hidupku berjalan fluktuatif seakan tengah mendaki gunung dan sesekali harus melewati lembah. Tidak pernah stabil. Ibuku memberikan kebebasan padaku untuk boleh melakukan apapun yang aku mau. Menyenangkan memang. Tidak semua temanku mendapatkan posisi yang strategis dalam garis aturan keluarganya. Akan tetapi, pun aku tidak sebebas yang aku bahkan orang-orang bayangkan.

Setiap aku akan melakukan apa saja, aku selalu meminta izin. Hal itu adalah tradisi yang ibu ajarkan padaku dan juga kakak. Dan kami berdua tidak protes dengan budaya semacam itu.

Setiap kali aku melayangkan izin, ibu selalu berpesan, "Jangan pernah tidak takut". Kalimat itu membuat kebebasan yang berlaku untukku melebur menjadi batasan-batasan yang nyaris mengekangku.

Kakak yang akrab kusapa Mas Yayan adalah tangan kanan ibu yang bersedia bekerja tanpa digaji untuk ekstra mengawasiku. Kekhawatiran ibu akan ini dan itu kadang kala sangat berlebihan. Akan tetapi aku paham, wajar saja seorang ibu bersikap demikian. Karena aku seorang perempuan.

*****

Aku baru saja jatuh dari ketinggian mimpi-mimpiku. Aku menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi dengan masa depan yang aku sama sekali tidak tahu akan bagaimana muaranya. Aku gagal dan menyesal. Aku tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut. Aku melanggar janjiku pada ibu untuk "Jangan pernah tidak takut". Aku terlalu berani mengambil risiko terburuk untuk jatuh dan kesakitan. Aku makhluk tidak tahu diri.

Masa esemaku sudah berakhir. Ibu yang akrab kusapa dengan sebutan umi sepenuhnya mendukungku untuk melanjutkan studi ke universitas manapun yang aku ingini. Meski begitu, umi tidak pernah lupa menegaskan janjiku sebagai seorang anak kepada ibu yang telah melahirkanku. Kalimatnya masih sama, "Jangan pernah tidak takut".

Ya, aku seringkali kehilangan kesempatan emas lantaran perasaan takut akan ini dan itu. Hingga pada akhirnya, aku hanya berjalan di zona aman dan menerima takdir dalam penyesalan. Tidak pernah mengalami perubahan. Selalu saja statis. Kendati begitu, aku masih merindukan pelangi yang bisa mengubah warna hidup keluarga kami.

Aku tidak percaya pelangi akan datang begitu saja. Harus ada sebab mengapa pelangi muncul di atmosfer bumi. Aku sama sekali tidak menginginkan diriku tumbuh besar menjadi seorang anak dengan kapasitas otak yang tak pernah berkembang. Aku akan tetap bertekad, menjemput pelangi yang aku impikan.

Masa sekarang adalah masa kejayaan teknologi. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak punya teman. Tidak ada alasan bagiku untuk menggerutu penuh kekesalan pada masa lalu. Karena sejatinya masa lalu hanya boleh untuk dikenang dan dijadikan pelajaran, bukan untuk diingat-ingat. Ya, masa lalu bukan lagi menjadi milikku. Aku hanya punya waktu sekarang. Aku sepakat dengan kalimatku sendiri.

"Maafkan putrimu, Umi. Ia harus melanggar janjinya padamu. Percayalah, ia ingin memuliakanmu dengan mahkota pelangi yang cepat atau lambat akan ia dapatkan," tuturku dalam sepotong pesan sebelum aku pergi meninggalkan surga duniaku.

*****

Aku memang telah kalah telak di permainan pertama. Aku mengakui kebodohanku dalam menyusun strategi. Namun, kali ini aku harus menang. Apapun yang terjadi, aku harus tetap kuliah. Tidakkah aku melihat orang-orang yang tidak seberuntung aku telah mampu menikmati bangku perguruan tinggi dengan kegigihan dan semangat yang tak pernah padam?

Rencana A dan B telah berhasil aku lalui dengan tangis kesedihan. Tapi aku sudah menyiapkan rencana C beserta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Bagaimanapun aku harus melawan rasa takutku terhadap masa depan yang boleh jadi melukaiku.

Aku tidak takut. Aku latih otakku untuk berpikir yang baik-baik. Aku juga berhak menggenggam pelangi. Sama seperti orang-orang yang lebih dulu sukses yang bahkan telah melewati masa-masa sulit melebihi aku di saat sekarang.

Baiklah, aku siap menyusun strategi di rencana C. Bidikmisi masih menjadi sasaran utamaku untuk bisa kuliah. Melalui jalur manapun, aku harus mampu melewati salah satunya.

SNMPTN dan SPAN-PTKIN telah kuhapus dari memoriku. Tidak akan aku biarkan ingatan pilu menghalangiku untuk bergerak maju. Aku telah siap berjalan di jalur berikutnya: SBMPTN.

Kali ini aku berhitung secara matang. Peluang manakah yang paling besar yang akan menguntungkan diriku? Aku tidak mau salah strategi lagi. Dari tiga pilihan, aku sama sekali tidak tertarik untuk berkalkulasi pada tiga opsi yang ditawarkan itu.

Kutanamkan sekarang, aku hanya boleh memilih satu, atau tidak sama sekali. Karena aku telah paham bahwa setiap perguruan tinggi negeri tidak mau dinomorduakan. Baiklah, aku akan belajar setia. Tidak lagi menyerong ke kiri atau kanan. Dengan segala kenekatan, aku mengosongkan dua peluang yang harusnya bisa jadi alternatif kedua atau ketiga jika aku tidak terjaring di pilihan pertama.

Ah, aku tidak ingin banyak berpikir. Pilih satu saja atau tidak sama sekali. Titik. Aku percaya, jika memang sudah menjadi jalanku, insyaallah akan dimudahkan.

Seiring aku memantapakan pilihan, aku kembali menilik ulang tujuanku untuk belajar di perguruan tinggi. Aku pikir, keinginan menjadi seorang guru adalah sebab utama mengapa aku begitu ngotot ingin kuliah. Aku terobsesi untuk selalu bermanfaat bagi orang banyak. Sampai akhirnya, aku memilih program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Bagaimanapun, aku memiliki kegemaran menulis. Kelak, selain ingin menjadi seorang guru, aku juga ingin menjadi seorang penulis. Aku ingin mempengaruhi banyak orang melalui coretan-coretan penaku. Mengajak mereka untuk sama-sama belajar dan mengamalkan kebajikan.

*****

Hari yang menegangkan yakni pengumuman yang menguras kesabaran akan sebuah penantian datang atas banyak permintaan. Awan pekat seperti hendak runtuh. Suasana mendadak horor saat sang waktu yang menunjukkan pukul tujuh belas memberikan sasmita bahwa hasil SBMPTN sudah bisa diakses. Aku tidak cukup tertarik untuk membukanya selekas mungkin.

Aku flashback ke masa lalu yang terlalu antusias jelang ditolak dalam SNMPTN yang berhasil menguras emosiku. Kali ini aku tidak akan berlebihan dan lebih memilih untuk bersikap biasa saja. Aku sudah siap dengan segala kemungkinan. Bagiku tidak ada alasan lagi untuk menangis pilu.

Aku tahu, umi telah kecewa pada anak gadisnya yang dengan bangga melanggar janji untuk "Jangan pernah tidak takut". Tetapi jauh dari alam bawah sadar umi, aku yakin beliau tak pernah berhenti melisankan doa-doa terbaik untukku bahkan tanpa aku minta.

Yeah, aku mencoba untuk membuka bagaimana hasil seleksi untuk namaku. Sekali dua kali aku gagal lantaran server sedang sibuk. Ya, aku tahu semua pendaftar yang terdiri dari ratusan ribu calon mahasiswa sedang berharap-harap cemas mengakses laman SBMPTN untuk melihat hasil.

Aku menyerah. Ah, bukan menyerah, melainkan aku memilih untuk bersabar dengan menutup laman tanpa sebuah kepastian apakah aku diterima atau ditolak. Hipotesisku, dua atau tiga jam kemudian barangkali server sudah sedikit sepi pengunjung ketimbang waktu sekarang sesaat pengumuman dibuka.

Belum lama aku pulang dari warnet dengan tangan hampa, beberapa pesan singkat berhasil mendarat di layar ponselku. Isinya seragam, semuanya menanyakan hasil SBMPTN atas namaku. Aku jawab saja dengan kalimat sederhana, "Forbidden, server sedang sibuk."

Aku memang penasaran, tetapi ternyata mereka lebih penasaran sampai-sampai mereka menawarkan jasa untuk membukakan pengumuman untukku. Hahaha, aku jadi geli sendiri. Yang menjalani SBMPTN siapa, yang penasaran dengan hasil siapa.

Aku mengiyakan penawaran mereka. Tanpa ragu aku memberikan nomor pesertaku beserta tanggal kelahiranku sebagai syarat untuk membuka hasil yang diharapkan baik. Beberapa menit kemudian, kronologi facebook-ku ramai oleh ucapan selamat atas keberhasilanku.

Sial, seorang teman membagikan hasil ujianku di media sosial sefulgar facebook. Aku jadi malu. Aku takut tinggi hati. Tetapi aku tidak marah. Aku berikan kesempatan kepada orang lain untuk mendoakan kebaikan atas kelulusanku dalam ujian SBMPTN sebulan silam melalui kolom komentar. Hehehe..

"Selamat atas keberhasilan Anda! Anda dinyatakan lulus pada SBMPTN 2015 pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Jenderal Soedirman."

Aku langsung percaya pada berita itu lantaran ada tiga sumber yang meyakinkanku. Aku spontan mengambil ancang-ancang untuk bersujud syukur. Dengan gerakan maraton, aku menghubungi umi untuk menyampaikan berita baik ini.

"Pelanggaran janji Intan kepada umi akan sikap ketidaktakutan Intan berbuah manis. Intan diterima di Unsoed. Kota Purwokerto menjadi jalan yang Allah tunjukan untuk Intan tapaki dalam melanjutkan studi. Dan Intan tentu bisa sering-sering mengunjungi umi manakala umi merindukan Intan." Begitulah aku membisikkan pesan kepada umi dalam situasi penuh syukur itu.

"Dan lagi, umi tidak perlu khawatir, biaya pendidikan Intan akan ditanggung oleh pemerintah melalui bidikmisi," tambahku berusaha meyakinkan umi bahwa aku sedang tidak berkata bohong.

*****

Universitas Jenderal Soedirman akan menjadi payungku untuk berproses di jenjang pendidikan tinggi. Program studi PBSI akan menjadi wadah untuk aku belajar memantaskan diri menjadi seorang guru.

Dan bidikmisi adalah alasan agar aku terus berusaha mencari inovasi: apa yang bisa aku persembahkan pada bumi pertiwi yang telah sudi menjadi saksi bisu kelahiranku hingga aku tumbuh dewasa? Entahlah, biar saja pertanyaan itu kusimpan sekarang. Kelak, aku akan berikan jawaban terbaik di masa depan.

Dan satu lagi, kesempatan-kesempatan emas untuk mengembangkan progress coretan penaku akan terus menjadi pemicu semangat untuk tidak pernah takut merangkaikan kata-kata cita.

Lagi-lagi, melalui coretan penaku ini, aku berharap mampu mempengaruhi orang banyak untuk selalu ber-amar ma'ruf nahi munkar. Untuk "Jangan pernah tidak takut" dalam perjalanan menjemput pelangi yang melukiskan mimpi-mimpi. Dan tentunya dengan tidak pernah kehilangan keberanian untuk terus berkarya dan menebar kebaikan.

Kata Mbak Asma Nadia, kapan dan di mana lahirku, siapa orang tuaku, apa jenis kelaminku, itu semua adalah takdir. Bagaimana aku menjalani hidup, dan ingin dikenang sebagai apa setelah mati, itu adalah pilihan. 

Dan pilihan hidupku adalah menjadikan diri sebagai muslimah, generasi rabbani yang senantiasa beriman dan bertakwa kepada Allah serta selalu bermanfaat untuk orang banyak. Karena sejatinya hidup adalah soal pengabdian dan kebermanfaatan.

Aku harus kuliah. Meskipun orang tua tidak mampu untuk membiayai kuliahku, tetapi cita-citaku harus aku perjuangkan dan aku bela habis-habisan. Seperti sosok Arai dan Ikal dalam tetralogi novel Laskar Pelangi, juga sosok Alif dalam trilogi Negeri 5 Menara. Sebuah cerita yang sangat mengispirasi.

Beasiswa pendidikan tinggi akan kukejar. Cita-cita yang mulia akan kuraih. Pelangi yang melukiskan mimpi-mimpi akan kujemput, melalui bidikmisi. Bismillah, semoga perjalanan ibadah dipermudah. Sukses dunia dan akhirat. Amin.

Purwokerto, Desember 2016.

*Penulis merupakan alumni mahasiswa bidikmisi Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto tahun akademik 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun