Berbicara persoalan hidup, tentu selalu ada saja setiap harinya. Atasan yang hobi marah-marah, pekerjaan yang tak kunjung selesai seperti tumpukan setrikaan, sulitnya mendapat pekerjaan yang sesuai, dosen yang nyebelin, tugas akhir yang penuh coretan, kuliah yang belum kian lulus, diputusin pacar, nyinyiran tetangga yang pedasnya melebihi Boncabe level 50, jalanan macet, hingga biji cabai yang nangkring di sela-sela gigi akan selalu menghiasi hari dan tak jarang membuat geram.
Katanya, hidup mau bahagia. Tapi kepleset sedikit saja, sudah marah-marah. Padahal yang menumpahkan air diri sendiri, tapi kena imbasnya sekomplek. Jatuhnya lima detik, badmood-nya seminggu.
"Orang-orang kok bisa dapat nilai 100, aku cuma 99"
"Capek banget kerja, penuh tekanan tapi gaji gak naik-naik"
"Kapan ya, bisa liburan ke luar negeri?"
"Hidup kok berat banget ya? Lihat orang lain gampang banget bahagia, kok sendiri selalu menderita.."
Mau bagaimana bahagia, kalau mantranya saja SELALU MENDERITA?!
Terkadang, bahkan seringnya. Bukan hidup yang berat dan penuh penderitaan, tapi diri sendiri yang membuatnya terasa tidak bahagia. Nah untuk kamu yang masih sering mengeluh mengenai kehidupan yang tidak bahagia, buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring sangat cocok untuk kamu baca. Buku yang membahas sebuah filosofi hidup dari filsuf Yunani-Romawi kuno yang dikenal dengan "Stoisisme" akan mengenalkan kamu untuk menjalani hidup agar lebih baik. Dari sekian banyak pelajaran hidup ala kaum Stoa, berikut enam kisi-kisi menarik dari buku tersebut yang perlu kamu ketahui:
1). Segala peristiwa yang terjadi merupakan gabungan dari berbagai hal
Pernah kesal saat terlambat padahal kamu ada meeting penting atau harus presentasi tugas dosen killer? Atau, saat berdiri di dalam kendaraan umum tiba-tiba kakimu terinjak penumpang lain dan bajumu basah karena air di dalam botol yang tumpah? Lalu, kamu menggerutu "Kenapa sih, jalanan macet banget. Jadi telat kan" atau "Gak punya mata apa, kaki orang main injek aja. Ini juga, kenapa sih pakai tumpah segala. Jadi kacau deh OOTD buat ketemu gebetan di kampus."
Kamu terlambat, menyalahkan jalanan yang macet. Kakimu yang terinjak dan baju basah, menyalahkan orang lain dan sebotol air. Padahal, sebenarnya bisa jadi semalam kamu begadang, ketiduran saat scroll sosmed, lalu lupa pasang alarm, dan saat akan berangkat, kamu salah pakai sepatu karena terburu-buru. Akhirnya, kamu terjebaklah di kemacetan dan terlewatkan agenda penting kamu. Atau, saat pagi-pagi kamu mengisi air ke dalam botol, lalu kamu teringat charger HP kamu masih di kamar. Kemudian kamu berangkat dengan memasukkan botol yang belum kamu tutup rapat. Saat di kendaraan, bis yang kamu tumpangi sangat penuh, penumpang berdesakkan dan tidak bisa melihat ke bawah karena saking sesaknya sehingga tidak sadar telah menginjak kaki kamu.
Kalau begitu, apakah masih pantas untuk menjadikan salah satu hal sebagai tersangka atau penyebab dari peristiwa yang terjadi? Begitu juga, momen kelahiran kamu. Di dalam buku Filosofi Teras memandang bahwa kelahiran kamu dan semua individu di muka bumi bukan terjadi hanya karena satu penyebab, melainkan gabungan berbagai hal. Seperti pertemuan ayah dan ibu kamu, lalu mereka berinteraksi, saling tertarik satu sama lain, merasa ada kecocokan, memutuskan menikah, dan terjadilah kelahiran kamu.
2). Tidak ada peristiwa yang benar-benar baik atau buruk, interpretasi lah yang membuatnya demikian
HP kamu pernah rusak? Follower mu berkurang drastis? Kamu belum mampu membeli mobil mewah? Atau kamu diputusin pacar? Lalu, kamu merasa hal itu merupakan peristiwa buruk yang terjadi. Atau, kamu membuat satu konten viral, lalu popularitasmu meningkat drastis atau kamu baru saja mendapat mobil mewah, lalu kamu merasa sangat senang karena itu adalah peristiwa baik yang terjadi di hidup kamu? Kalau kamu masih menganggap demikian, pemikiranmu belum selaras dengan para filsuf Stoa.
Aliran Stoisisme mengajarkan bahwa segala sesuatu yang terjadi sebenarnya biasa saja, tidak baik dan tidak juga buruk. Hal yang membuatnya menjadi terasa baik atau buruk adalah interpretasi kamu sendiri. Seperti HP rusak, kamu merasa itu hal yang buruk. Padahal, biasa saja. Tidak memengaruhi kualitas diri kamu dan siapa kamu sebenarnya. Dengan atau tanpa HP, kamu masih bisa menjalani kehidupan. Begitu juga ketika kamu memiliki mobil atau kendaraan mewah, sebenarnya bukan hal yang baik atau membahagiakan. Ada atau tidaknya kendaraan mewah, tidak akan menghentikan atau mengubah identitas kamu. Kamu sendirilah yang menganggap bahwa kendaraan mewah adalah kebahagiaan dan hal baik.
Menurut filsuf Stoa, segala sesuatu itu biasa saja. Tidak memengaruhi diri dan hidup kamu. Jadi ada ataupun tidak, tidak menjadi masalah. Akan tetapi, ada beberapa hal yang jika ada akan lebih baik dan jika tidak ada akan lebih baik juga. Seperti kesehatan, kekayaan, prestasi, dan popularitas akan lebih baik jika dimiliki, dan bencana, penyakit, kemiskinan, dan kemalangan akan lebih baik jika tidak ada.
3). Practice poverty atau latihan hidup menderita supaya lebih bahagia
Pernah membayangkan, "Seandainya followers ku 100 juta, seandainya aku punya jet pribadi, seandainya aku anaknya Bill Gates, seandainya aku punya uang 10 triliun, aku pasti akan bahagia". Lalu, ketika kamu benar-benar memiliki jumlah follower yang sangat banyak dan kamu memiliki jet pribadi, kamu akan merasa biasa saja dan ingin memiliki hal lain. Hal yang tadinya kamu dambakan, tidak lagi terasa membahagiakan karena kamu sudah terbiasa memilikinya. Hal tersebut terjadi karena pada dasarnya manusia memiliki sifat dasar yang dapat mudah beradaptasi dengan keadaan. Ketika keadaanmu berubah, maka standar kebahagiaan kamu juga akan berubah.
Oleh karena itu, di dalam buku Filosofi Teras mengenalkan agar berlatih hidup menderita agar kamu dapat lebih menghargai dan bahagia. Misalnya, kamu terbiasa tidur di kasur empuk dengan AC, cobalah untuk tidur beralas tikar atau tanpa alas sama sekali, tanpa pendingin ruangan. Jika kamu terbiasa mengenakan pakaian yang lembut, cobalah mengenakan kain yang berbahan kasar. Jika kamu terbiasa makan dengan menu yang mewah dan berlimpah, cobalah lebih sedikit makan dan makan makanan sederhana. Dengan begitu, kamu akan merasakan bahwa hidup biasa saja bukanlah hal yang buruk dan ketika kamu kembali menikmati segala hal yang berkecukupan, kamu akan lebih menghargai hal tersebut dan mensyukuri apa yang dimiliki.
4). Gunakan rumus 3P ketika berhadapan dengan musibah
Pernah dengar seseorang yang baru saja diputusin pacarnya lalu merutuki diri sendiri? Atau  bahkan, kamu sendiri juga demikian? Eits, hati-hati ketika kamu berhadapan dengan musibah. Kamu perlu untuk mengantisipasinya dengan rumus 3P (Personalization, Pervasiveness, Permanence).
Misalnya, saat diputusin pacar. P pertama, kamu akan mempersonalisasikan musibah sebagai kesalahan kamu sendiri. Beranggapan bahwa kamu yang salah, kamu yang kurang cantik, kurang baik, kurang famous, gak bisa banyak hal, dan sebagainya. kemudian, P kedua, kamu menganggap bahwa peristiwa diputusin pacar adalah satu musibah tersebut sebagai musibah yang terjadi di seluruh aspek kehidupan kamu. Kamu akan berpikir, dengan diputusin pacar akan merasa tidak beruntung dalam hal asmara, jadi anak yang tidak membanggakan, tidak berguna sebagai manusia. Lalu, P ketiga, kamu akan beranggapan bahwa satu musibah itu akan selalu hadir seumur hidup kamu dan menganggap kamu tidak akan bahagia selamanya. Jika dilihat kembali, ketiga P tersebut sebenarnya bukanlah fakta yang terjadi. Melainkan hasil dari satu fakta yang dibumbui interpretasi kamu sendiri.
Oleh karena itu, saat mulai merasakan musibah cobalah untuk mengurainya dengan 3P yang sesuai. Misalnya, P pertama, kamu diputusin bukanlah sepenuhnya kesalahan kamu. Diputusin pacar, bukan berarti kamu tidak cantik atau tidak layak, bisa jadi memang pacar kamu yang bosan atau memang tidak ada kecocokan di antara kalian. P kedua, diputusin pacar bukan berarti kamu gak bisa kuliah dan berprestasi atau memiliki karir cemerlang. Itu adalah hal berbeda. Bisa jadi, kamu hari ini diputusin. Tapi saat kuis dengan dosen killer, kamu mendapat A, atau kamu menang tender di perusahaan. Dan P ketiga, mungkin diputusin memang agak nyesek, apalagi pas masih sayang-sayangnya. Tapi, bukan berarti kamu akan galau seumur hidup, kamu bisa move on dan bahagia dengan cara yang lain.
5). Ubah positive thinking dengan mental contrasting
Sering mendengar kata-kata motivator agar selalu berpikir positif? Kalau iya, kamu akan menemukan hal berbeda ketika membaca buku ini. Alih-alih diajarkan berpikir positif, kamu akan diarahkan untuk memiliki mental contrasting. Memikirkan hal baik atau positif untuk membayangkan hasil, tapi sebelum sampai ke hasil, kamu harus membayangkan kemungkinan hambatan saat akan menempuh tujuan atau keberhasilan kamu.
Misalnya, kamu diundang untuk menjadi pembicara dan berdiri di podium yang disaksikan para menteri dan pejabat tinggi, atau kamu mendapat penghargaan luar biasa. Maka kamu akan membayangkan kamu mendapatkan tepuk tangan meriah, kekaguman orang-orang, dan ucapan selamat. Tetapi, kamu juga perlu membayangkan saat akan naik ke panggung, kamu bisa saja merasa sangat gugup dan kalut dengan tepuk tangan penonton, lalu kamu tersandung karpet dan jatuh, atau salah menyebut nama orang penting dalam pidato kamu, atau hal ekstrem lainnya, penonton akan melempari kamu dengan benda dan menyoraki kamu dengan hina.
Bayangan akan hambatan yang mungkin terjadi sangat menjadi penting supaya kamu dapat berantisipasi. Supaya kamu tidak malu salah sebut nama, kamu bisa berlatih sebelum tampil, agar tidak tersandung saat berjalan, kamu bisa berlatih mengenakan sepatu atau kostum yang akan kamu pakai saat acara agar lebih terbiasa, dan sebagainya. Hal ini bisa membuat kamu lebih bersiap akan segala kemungkinan yang terjadi.
6). Hidup dengan dikotomi kendali
Kisi-kisi terakhir yang menarik dalam buku tersebut adalah pembahasan mengenai dikotomi kendali. Sebagai manusia, tidak jarang kita sulit memisahkan hal-hal yang ada di luar kendali dan di bawah kendali kita. Biasanya, orang yang tidak memisahkan hal tersebut akan cenderung lebih sulit bahagia. Karena hidupnya akan dipenuhi dengan pemikiran yang harus bisa  mengendalikan segala hal. Padahal, di dunia ini tidak semua hal dapat dikendalikan.
Misalnya, tindakan orang lain terhadap kita, opini orang lain, popularitas, kesehatan, kekayaan, kondisi saat kita dilahirkan ke dunia, cuaca, dan kondisi alam. Hal tersebut tidak berada di bawah kendali kita dan kita tidak bisa memaksakan orang lain harus berlaku baik atau buruk kepada kita, kita tidak bisa mengendalikan bahwa kita akan selalu sehat, diluputi kekayaan dan kemewahan, kita tidak bisa mengendalikan lahir dari orang tua dan keluarga seperti apa, atau mengendalikan banjir atau gempa bumi. Jika kita fokus pada hal di luar kendali dan memaksakan agar selalu sesuai kehendak kita, akan sangat sulit membuat kita menderita.
Sebaliknya, kita diarahkan untuk fokus pada hal yang bisa dikendalikan seperti persepsi kita, keinginan, tujuan, dan segala sesuatu yang ada di pikiran kita. Kita bisa menentukan apa yang kita inginkan atau tujuan kita, kita bisa mengendalikan opini kita terhadap sesuatu, dan sebagainya. Seperti yang telah dikatakan Seneca, "If you live according to what others think, you will never be rich". Jika kita hanya fokus pada ucapan orang lain dan hal-hal di luar kendali kita, kita tidak akan pernah menjadi diri yang kaya dan bahagia.
Itulah keenam kisi-kisi yang sangat menarik dari buku Filosofi Teras. Menurut kamu, kisi-kisi apalagi yang menarik dari buku tersebut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H