"Azka gak pura-pura lupa sama kamu." Nara mengerutkan keningnya tak mengerti. "Azka amnesia." Tubuh Nara menegang. "Amnesia?" Amanda mengangguk. "Saat pulang dari rumah kamu waktu itu, Azka kecelakaan. Kepalanya terbentur stir dan mengeluarkan banyak darah. Bahkan Azka koma selama beberapa hari." Nara hanya diam membisu, tak tau harus berkata apa lagi. "Dan saat dia sadar dia gak kenal siapa tante, om, dan dia gak tau siapa dirinya. Dokter bilang Azka mengalami amnesia karena benturan keras di kepalanya."
"Kenapa tante gak ngabarin aku?" tanya Nara yang air matanya sudah mengalir deras.
"Sebelum kecelakaan Azka sempat ngirim pesan ke tante kalau kalian bertengkar, jadi tante pikir---"
"Aku gak bakalan peduli sama Azka?" potong Nara tak terima. "Aku tau Azka marah sama aku, tapi bukan berarti aku bakalan diam aja waktu tau dia kecelakaan. Tante gak taukan selama dua bulan ini mikir yang enggak-enggak tentang Azka. Aku pikir dia benci sama aku. Harusnya aku ada disamping dia waktu itu, kasih dia semangat, ngerawat dia." Nara menunduk. "Aku memang pacar dan sahabat yang gak berguna." Mendengar itu Amanda pun mendekatkan duduknya dengan Nara dan memeluknya. "Kamu gak boleh ngomong gitu." Tangisan Nara semakin menjadi. Amanda mengajak Nara untuk pulang bersama setelah tangisan Nara mereda. Setelah sampai, Nara mengucapka terimakasih dan langsung keluar mobil. Tapi panggilan Amanda menghentikan pergerakannya.
"Kami akan pindah ke Bandung." Nara memejamkan matanya untuk menahan air mata yang kembali ingin keluar. Tidak cukupkah dengan Azka amnesia dan kini orang yang dicintainya itu akan pindah? Apakah Nara memang tidak ditakdirkan untuk seorang Azka Nareswara? "Azka butuh ketenangan untuk masa pemulihannya, siapa tau kalau dia pindah ke tempat eyang nya di Bandung ingatannya akan kembali." Tapi sampai kapan?! Jerit Nara dalam hati. "Besok siang kami akan berangkat." Sambung Amanda. Siang? Yang benar saja, saat itu dia masih sekolah. Nara langsung keluar mobil tanpa mengatakan apapun lagi, hatinya hancur, dadanya sesak seperti ada yang menghimpitnya. Sudah tidak ada lagi yang bisa ia pertahankan. Semuanya sudah selesai. Cukup sampai disini.
Sudah setahun semenjak kepindahan Azka ke Bandung. Tapi cintanya tak pernah hilang untuk sosok itu, bahkan tak berkurang sedikitpun. Nara menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya kembali. Sekarang ia sudah kelas XII, berarti ini tahun terakhir dirinya dan teman-teman seangkatannya berada di SMA Pancasila, mereka harus membuat kenangan yang indah sebelum nanti akhirnya memilih jalannya masing-masing. Tidak ada gunanya menangisi seseorang yang bahkan tak ingat siapa dirinya. Sera baru saja datang dan langsung mengambil duduk dibelakangnya bersama dengan David sehingga Nara harus duduk sendiri. Bel jam pertama berbunyi, karena ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang, kegiatan belajar mengajar ditiadakan. Tak lama masuk bu Shinta---wali kelas XII MIPA 1 bersama dengan seorang murid laki-laki. Semua murid berhamburan ketempat duduknya masing-masing, mereka pikir bu Shinta tidak akan masuk.
"Jangan biasakan duduk diatas meja. Kalian udah kelas XII, bukannya ngasih contoh yang baik malah ngasih contoh yang buruk." Omel bu Shinta. Semua murid menunduk, tidak ada yang berani menatap kedepan. Bu Shinta memang dikenal sebagai guru yang sangat tegas dan taat aturan.
"Omong-omong, kalian dapat teman baru. Dia pindahan dari Bandung." Mendengar kata Bandung membuat pergerakan Nara yang sedang sibuk mencoret-coret buku bagian belakang terhenti.
"Tenang, Na. Yang tinggal di Bandung bukan dia aja." Gumam Nara meyakinkan dirinya bahwa anak baru itu bukan Azka. "Silahkan perkenalkan diri kamu." Kata bu Shinta pada anak itu.
"Perkenalkan, nama saya Azka Nareswara. Pindahan dari Bandung. Semoga kita bisa berteman baik." Tubuh Nara mematung. Nara langsung melihat ke depan kelas, dimana murid yang memperkenalkan dirinya sebagai Azka berdiri. Tatapannya terkunci pada bola mata coklat milik anak laki-laki itu. Itu Azka, benar-benar Azka-nya. Tapi mengapa dia bisa ada di Jakarta? Setelah perkenalan diri, bu Shinta menyuruh Azka untuk duduk dibangku yang kosong dan pasti itu adalah bangku disamping Nara. Azka berjalan dengan santai ke ara Nara dan duduk disamping. Nara yang masih belum sadar sepenuhnya hanya diam saja. Menoleh ke arah Azka dan mengerjapkan matanya berulang kali, mungkin saja saat ini dia sedang berkhayal. Azka yang melihat tingkah menggemaskan Nara hanya tertawa kecil sambil mencubit pipi chubby Nara. Sontak membuat Nara terkejut sekaligus senang, bahkan hanya dengan Azka menyubit pelan pipinya Nara bisa merasakan getaran itu. Getaran yang hanya ia rasakan saat bersama Azka.
Tanpa mereka sadari bahwa dikelas itu hanya ada mereka berdua. Setelah sepeninggal bu Shinta, semua murid berbondong-bondong keluar. Sera yang duduk dibelakang mereka berdua pun memilih mengajak David untuk keluar agar tidak mengganggu Azka dan Nara. Mereka butuh privasi. Setelah lama mereka saling menatap Nara berdiri, hendak pergi. Namun tangannya ditahan oleh Azka dan menuntun Nara untuk kembali duduk menghadap dirinya.