Mohon tunggu...
Intan Nurcahya
Intan Nurcahya Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP N Sukaresmi Cianjur, berlatih menulis, menyerap dan menyebar virus literasi.

Guru SMP N Sukaresmi Cianjur, berlatih menulis, menyerap dan menyebar virus literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan dan Catwalk Panjang

6 Desember 2020   17:59 Diperbarui: 22 Desember 2020   19:11 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suara riuh masih terdengar, cekikikan-cekikikan usil dari mulut-mulut kecil terus bersahutan

"Nimah gila, Nimah gila,... Nimah miring, Nimah miring , huuuuuu!!!"

"Peragawati euuyy peragawati, hiyyyaa...peragawati beraksi!"
                                                                                                                       sumber : strawbell.blogspot.com

Begitulah, seperti tak pernah bosan anak-anak itu mengolok dan mengarak perempuan setengah baya yang hampir tiap hari melenggang di jalanan desa mereka .
Perempuan setengah baya itu tidak akan memperdulikannya sama sekali, dia hanya akan berjalan menyusuri jalan hampir sepanjang tujuh kilometer dari rumahnya menuju kota terdekat. Bukan hanya satu kali, dalam sehari dia bisa bolak-balik menyusuri jalan itu.

Beraksi bak peragawati, Nimah akan memilih baju-baju "terbaiknya", dengan make up menor dan tatanan rambut sedemikian rupa, dia berjalan dalam diam, tak pernah hirau dengan sekelilingnya.

Namaku Sulastri. Dia, perempuan itu adalah ibuku. Aku gadis enambelas tahun yang akan memeluk ibuku ketika dia pulang setelah letih berjalan, memandikan dan menyuapinya, memijat kakinya dan menuruti kemauan ibu untuk menyiapkan pakaian, untuk dipakai esok hari tentunya.

Aku tak ingat betul kapan tepatnya sesuatu menimpa ibuku. Yang aku tahu dulu ibuku adalah perempuan tercantik di kampung ini. Hidup bahagia setelah dipersunting ayahku yang gagah dan tampan. Segalanya berubah saat ibuku memutuskan untuk pergi merantau, menjadi tulang punggung keluarga ke negeri orang, sesuatu yang di kampungku merupakan hal yang umum dilakukan.

Saat ibuku tak ada, aku dirawat oleh nenekku, sedangkan ayah tinggal sendiri di rumah yang kutinggali sekarang bersama ibu.

Saat ibu pulang sekitar 8 tahun lalu, perangainya mulai berubah, sering kudengar dia marah besar kepada ayah, entahlah aku belum paham apa-apa. Sampai puncaknya adalah ketika ibuku mengusir ayah, dan sejak saat itu aku tak pernah melihat lagi keberadaan ayahku.

Setelah itu perlahan ibuku jadi orang yang berbeda, tertawa, dan bercerita dengan riang gembira, kadang menangis sedih menyayat hati. Sayangnya tak ada yang dia ajak bicara, ibuku hidup di dunianya.

Entah sudah berapa kebal muka dan telingaku, aku buta dan tulikan dari segala gunjingan orang. Berdua dengan nenek, aku merawat ibu. Tak ada yang bisa dilakukan selain menerimanya, memperlakukannya dengan kasih sayang, memahami perangainya, dan mengobati luka-lukanya ketika tak jarang dia pulang dengan kondisi kesakitan, badannya baret-baret atau kadang penuh kotoran.

Saat umurku duabelas tahun nenekku meninggal. Hari-hari tanpa masa depan kini seakan membentang di depan mataku. Entah apa yang harus aku lakukan.    

Waktu seakan tak berpihak, ibuku tak lagi "cantik". Kemampuan mengontrol dirinya hampir sirna. Sering ia berangkat dengan pakaian lengkap dan pulang tanpa sehelai benangpun.  Kadang aku harus susah payah membujuknya pulang kala ia mogok berjalan dan berhenti di tengah perjalanan. Menjadi bahan tontonan meski tak kurang juga yang merasa kasihan.

Aku, gadis enam belas tahun yang harus menyingkirkan rasa malu demi ibuku. Aku melakukan apa saja demi untuk menyambung hidup kami berdua, tak ada keceriaan masa remaja, bangku sekolah yang ku impikan sudah sejak lama tergeser dari pikiranku.

Hingga suatu hari ibu pulang setelah dua hari menghilang, diantar seorang pemuda. Aku mengenalnya, dia anak juragan di tempatku jadi buruh pemipil jagung. Kang Jenal aku memanggilnya, katanya dia baru pulang dari kota setelah bertahun-tahun merantau.

"Ibumu sakit Las, kata orang-orang dia tidur seharian di trotoar," Kang Jenal menjelaskan.

Sejak saat itu Kang Jenal mengisi hari-hariku, dia laki-laki baik walaupun beberapa tato tergambar di badannya, sesuatu yang awalnya sangat aku benci. Kang Jenal  membantuku mengawasi Ibu, tak jarang dia memberiku uang untuk keperluan sehari-hari aku dan ibu.

Semakin hari benih-benih suka makin subur menghinggapiku, aku bahagia sepertinya aku tak bertepuk sebelah tangan. Kang Jenal akan menghiburku saat aku merasa sangat kelelahan merawat ibu. Kang Jenal akan menghampiri  dan menemaniku sepanjang aku menunggu ibu pulang. Aku terbuai dengan kasih sayangnya, aku sangat mencintainya. Perhatian Kang Jenal membuatku sedikit melupakan kelakuan ibu yang semakin gila, seperti yang dikatakan orang.

Suatu hari ibuku pulang dari perjalanannya. Wajahnya sangat letih, ada banyak darah keluar dari ke***annya, ibu merintih kesakitan memegangi perutnya, wajahnya pucat pasi, bukan hanya itu, kotoran yang sangat menyengat baunya keluar dari lubang pengeluarannya.

Aku menangis sejadi-jadinya, aku memandikannya, aku bersihkan darah dan kotorannya, aku terisak meminta maaf, sebagai anak aku tak mampu melindungi ibu. Aku kesal dan sedih saat semua orang seakan-akan tak peduli. Aku lelah dan ingin menyerah.

***
Kang Jenal mengelus rambutku saat aku membelai wajah ibu yang tidur dengan lelap.
"Tidurlah ibu, kali ini tak akan ada yang menyakitimu," aku mengusap air mata yang tak henti mengalir.
Kang Jenal mengambil selimut yang terjatuh saat ibu sedikit berontak waktu dia membekapnya dengan kuat.

***

Tahukah kalian aku kini merasakan kesenangan yang tiada tara, mungkin inilah yang ibu rasakan saat menyusuri jalan panjang bak peragawati.

"Lastri gila, lastri gila, lastri miring, lastri miring!"
"Peragawati, peragawati, huuuu!!!"

Ah, anak-anak itu gak tau saja betapa senangnya jadi peragawati, sekarang aku tau alasan kenapa ibu begitu suka berjalan sejauh ini, mungkin inilah yang disebut catwalk, hanya memang sedikit panjang.

Hanya sayang ketika aku pulang tak ada yang menyambutku, tak ada yang memandikanku. Kang Jenal dan  selingkuhannya mengunci rapat-rapat rumahku. Aku sering kedinginan dan tidur di emperan rumah.

Tapi aku masih sedikit ada keinginan, aku ingin masuk ke rumahku untuk terakhir kalinya. Subuh itu aku bersembunyi sehingga mungkin mereka mengira aku sudah pergi. Saat mereka bangun pagi dan membuka pintu belakang aku menyelinap masuk dan bersembunyi di kolong tempat tidurku. Aku sabar menunggu sampai malam, aku tutup telinga saat mereka asyik masyuk di atas tempat tidurku. Sampai tiba saatnya mereka terlelap, aku keluar, aku sudah menyiapkan sesuatu untuk mereka.

Crash! Crash!!!, darah segar menyegarkan pandangan mata.
Hihihiii, sempurnalah kenikmatanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun