Saat umurku duabelas tahun nenekku meninggal. Hari-hari tanpa masa depan kini seakan membentang di depan mataku. Entah apa yang harus aku lakukan. Â Â
Waktu seakan tak berpihak, ibuku tak lagi "cantik". Kemampuan mengontrol dirinya hampir sirna. Sering ia berangkat dengan pakaian lengkap dan pulang tanpa sehelai benangpun. Â Kadang aku harus susah payah membujuknya pulang kala ia mogok berjalan dan berhenti di tengah perjalanan. Menjadi bahan tontonan meski tak kurang juga yang merasa kasihan.
Aku, gadis enam belas tahun yang harus menyingkirkan rasa malu demi ibuku. Aku melakukan apa saja demi untuk menyambung hidup kami berdua, tak ada keceriaan masa remaja, bangku sekolah yang ku impikan sudah sejak lama tergeser dari pikiranku.
Hingga suatu hari ibu pulang setelah dua hari menghilang, diantar seorang pemuda. Aku mengenalnya, dia anak juragan di tempatku jadi buruh pemipil jagung. Kang Jenal aku memanggilnya, katanya dia baru pulang dari kota setelah bertahun-tahun merantau.
"Ibumu sakit Las, kata orang-orang dia tidur seharian di trotoar," Kang Jenal menjelaskan.
Sejak saat itu Kang Jenal mengisi hari-hariku, dia laki-laki baik walaupun beberapa tato tergambar di badannya, sesuatu yang awalnya sangat aku benci. Kang Jenal  membantuku mengawasi Ibu, tak jarang dia memberiku uang untuk keperluan sehari-hari aku dan ibu.
Semakin hari benih-benih suka makin subur menghinggapiku, aku bahagia sepertinya aku tak bertepuk sebelah tangan. Kang Jenal akan menghiburku saat aku merasa sangat kelelahan merawat ibu. Kang Jenal akan menghampiri  dan menemaniku sepanjang aku menunggu ibu pulang. Aku terbuai dengan kasih sayangnya, aku sangat mencintainya. Perhatian Kang Jenal membuatku sedikit melupakan kelakuan ibu yang semakin gila, seperti yang dikatakan orang.
Suatu hari ibuku pulang dari perjalanannya. Wajahnya sangat letih, ada banyak darah keluar dari ke***annya, ibu merintih kesakitan memegangi perutnya, wajahnya pucat pasi, bukan hanya itu, kotoran yang sangat menyengat baunya keluar dari lubang pengeluarannya.
Aku menangis sejadi-jadinya, aku memandikannya, aku bersihkan darah dan kotorannya, aku terisak meminta maaf, sebagai anak aku tak mampu melindungi ibu. Aku kesal dan sedih saat semua orang seakan-akan tak peduli. Aku lelah dan ingin menyerah.
***
Kang Jenal mengelus rambutku saat aku membelai wajah ibu yang tidur dengan lelap.
"Tidurlah ibu, kali ini tak akan ada yang menyakitimu," aku mengusap air mata yang tak henti mengalir.
Kang Jenal mengambil selimut yang terjatuh saat ibu sedikit berontak waktu dia membekapnya dengan kuat.
***