Mohon tunggu...
Intan Nurcahya
Intan Nurcahya Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP N Sukaresmi Cianjur, berlatih menulis, menyerap dan menyebar virus literasi.

Guru SMP N Sukaresmi Cianjur, berlatih menulis, menyerap dan menyebar virus literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kulihat Ibuku Menggantung

22 Desember 2017   05:23 Diperbarui: 22 Desember 2017   06:09 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin ibu tak faham makna mendongeng untuk anak, tapi tak ada malam yang terlewat tanpa dongeng ibu. Biasanya aku menceritakan kembali dongeng-dongeng itu pada teman-temanku. Dari kebiasaannya mendongeng inilah tumbuh minatku pada membaca, aku cari sendiri dongeng-dongeng yang aku inginkan dari buku.

Hidup serba kekurangan memaksa ibu untuk kreatif memanfaatkan lahan agar bisa diandalkan. Ibu menanam pohon labu siam di belakang rumah, buahnya tak pernah berhenti sepanjang waktu. 

Buah labu ibu masak untuk dijadikan sayur teman makan nasi,  selain itu ibu jual untuk menambah ongkos sekolahku saat SMP.. Kadang ibu menanam sawi dan bawang daun, sampai bosan aku sekeluarga makan dengan sayur sawi, atau sarapan nasi goreng bertabur bawang daun yang diiris besar-besar, kata kakakku sebesar kipas untuk mendinginkan nasi.

Bercocok tanam sederhana tidaklah cukup untuk menyediakan ongkos setiap hari. Ibu harus mencari sumber dana yang lain, pilihan berikutnya adalah kertas-kertas bekas ulangan murid-murid ayahku. 

Ayahku mengepalai sekolah SD tanpa guru tetap, ia hanya dibantu oleh dua orang sukarelawan yang berasal dari daerah dekat sekolah tersebut. Aku sering kebagian memeriksa hasil ulangan semua murid ayahku, dan sengaja hasil ulangannya tidak ayahku bagikan. Bagian ibukulah menjualnya, dan uangnya untuk sekolahku. Tentu saja miris dibuatnya, tapi tak ada cara lain untuk kami bertahan hidup.

Mengelola uang gaji yang sangat sedikit sangatlah melelahkan, kami sangat miskin. Beberapa bagian tanah warisan ayahku satu-persatu terjual untuk membiayai kami sekeluarga. Ibu tak pernah menuntut, ia menerima taqdirnya sebagai perempuan miskin yang tidak punya warisan, tanpa kepandaian lain untuk membantu penghasilan suaminya. Jika anaknya di ambang kelaparan karena persediaan beras habis dan utang di warung sudah menumpuk, ibu akan menebalkan muka, bersimpuh di dapur tetangga untuk meminjam seliter dua liter beras.

Ibuku seorang pejuang sejati, apa yang ia lakukan semua demi anak-anaknya. Sering ayahku menyalahkannya, menganggapnya sebagai pembawa kemiskinan. Sebenarnya nenek dari ibuku tidaklah terlalu miskin, ia memiliki harta berupa sawah dan kebun, sayang semua dikuasai oleh kakak-kakak ibuku, dan ibuku tidak kebagian sedikitpun.

Sikap berkuasa kakak-kakak ibu sering membuat percekcokkan antara ayah dan ibuku. Ayahku sering menyebut-nyebut masalah warisan yang tidak satupun menjadi milik ibuku. Bermula dari penerimaan sebagai perempuan yang tidak memiliki apa-apa, maka ibuku menerima konsekuensinya dengan mengerjakan segala urusan rumah tangga, dari urusan kecil sampai pekerjaan kasar sekalipun. Ayah seolah-olah tidak mau tahu dengan segala kepayahan yang ibu rasakan.

Saat aku kelas 4 SD rumah panggungku dirombak menjadi rumah bata permanen, tidak terlalu memadai untuk ukuran keluarga besar ini, apalagi karena keterbatasan biaya,  pembangunan rumahku menyicil ruangan demi ruangan. Kamar tidurnya kecil-kecil, kakak-kakakkulah yang menempatinya, sedangkan aku tidur dengan ibu dan adik-adikku. Ayah menempati kamar sendiri, mungkin saja ada saatnya ayah ibuku tidur bersama. Yang aku ingat rasanya nyaman sekali tidur dengan ibu, biasanya aku beradu punggung supaya terasa hangat, udara di tempatku sangat dingin waktu itu.

Plafon di bagian dapur ada yang sengaja dibuat berlubang, untuk menuju para-para rumah. Suatu ketika terjadi hujan yang sangat lebat, rumahku bocor di banyak titik. Ibu menggerutu dan meminta ayahku membetulkan genting. Satu pekerjaan yang hampir tak pernah ayah lakukan. Berhari-hari ibuku ngomel dan tidak ada satupun yang menanggapi. Kakak dan adik laki-lakiku semua mewarisi sifat ayahku, menjadi lelaki yang tidak bisa bekerja kasar. Waktu berlalu, bocor tak kunjung berhenti setiap terjadi hujan. Untuk mengupah orang tentu saja ibu harus berfikir beberapa kali, menyangkut uang yang dikeluarkan.

Sampai suatu ketika aku sedang berdua kakakku di halaman rumah, aku mendengar suara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun