Seperti tulisan tentang Bapak Dahlan Iskan?...iya juga sih, tapi gak bermaksud sedikitpun untuk plagiat dari tulisan itu. Hanya tergelitik saja dengan kejadian tadi pagi.
.....................................................................................................
Waktu telah mepet, dengan tergesa-gesa aku melangkah ke luar rumah, dan tanpa pilih-pilih naik angkot yang akan mengantarkanku ke sekolah. Huft, kuhempaskan badanku di jok yang masih kosong. Tiba-tiba baru kusadari aku memakai sepatu yang bagian pinggirnya telah mangap, tanpa bersadar aku bergumam sambil mengelus sepatuku,
"Wadduh, gawat sepatuku dah bocor begini, mudah-mudahan kuat buat sehari inilah"
Ibu yang duduk di depanku ikut-ikutan melirik ke arah sepatuku, ia memandangku kemudian sambil tersenyum. Aku balas senyumannya dan pura-pura  tidak terjadi apa-apa. Percaya dirikah aku?, Bisa jadi, hari ini sepatu butut bukan sebuah masalah buatku, meski tidak banyak tapi ada beberapa pilihan lain di rumah. Aku hanya sembrono dan kurang memperhatikan apa yang harus kupakai barusan. Eh...masalah juga sih, karena seorang guru tentu harus menampilkan yang terbaik di depan muridnya. Hmm...baiklah, besok-besok aku lebih teliti deh.
Tapi bukan ke sana arah pikiranku kali ini. Aku hanya teringat semasa SMP, memiliki sebuah sepatu yang bagus adalah impianku. Sepatu murahan menjadi pilihan yang dibelikan ayahku, dan akan bertahan sampai sepatu itu tak berbentuk, bahkan sama sekali sudah tak terpakai lagi.
Kelas 1 SMP aku memakai sepatu kalau tak salah berbahan plastik tapi dilapisi semacam  kain gitu, mirip karung goni tapi tipis. Awalnya sih tak masalah, tapi aku berjalan kaki tiap hari lebih dari 3 km sebelum nyampe ke jalan yang ada angkutannya, yaa cepet rusaklah, lapisan kainnya terkikis, bagian plastiknya sobek dan bolong juga. Aku rapikan sobekan kainnya dengan mengguntingnya, tapi gak banyak membantu, jempol dan kelingkingku nongol juga. Kalau aku duduk di angkot aku akan menutup sepatuku dengan tas, berharap orang lain tak melihat sepatu yang sudah bolong-bolong itu, maluu...tapi gimana lagi, berdo'a saja besok-besok bapakku sanggup membelikan yang baru.
Suatu hari guru bahasa Indonesia  menghukum kami sekelas karena perbuatan bandel temanku, beliau menahan kami untuk tidak buru-buru pulang setelah jam terakhir berbunyi. Aku yang memang kebagian kelas sore, baru bisa pulang menjelang magrib. Beruntung hujan yang sejak ashar mengguyur saat itu telah reda. Aku pulang sendirian,  biasanya aku memilih jalan besar untuk sampai ke rumahku, tapi rasanya hari itu terlalu gelap, dan perasaan takut menguasaiku.  Kuputuskan untuk melewati perkampungan, jalan yang dilewati sedikit tersinari dari lampu rumah-rumah itu.
Sayangnya selepas kampung itu jalan ke rumahku masih jauh, dan di ujung kampung ada hamparan pekuburan di bawah rimbunnya kebun bambu. Dari jauh gemerisik daun bambu sudah terdengar, aku terus berjalan dan berdo'a sebisa-bisanya. Air mata mulai menggenang, ketakutan luar biasa. Tak ada orang yang nampak, gerimis masih terasa dan pandangan ke depan semakin samar-samar.
Gemericik air di sungai kecil yang melintas jalan terdengar di antara riuhnya daun bambu, aku melangkah cepat sambil menunduk. Aku merasa perlahan-lahan hamparan kuburan sudah terlewat, dan  sampai pada jembatan kecil. Tadinya aku tidak berani berlari, karena khawatir robekan sepatuku akan semakin besar, tapi tengkukku rasanya makin menebal, dibayang-bayangi ketakutan akhirnya aku lari sekuat tenaga sambil menangis terisak-isak. Sampai kembali di jalan besar aku sedikit merasa lega, dan akhirnya sampai di rumah. Bapak dan ibuku tampak khawatir, aku marah kenapa tidak ada inisiatif mereka menjemputku. Sudahlah, yang penting aku sudah sampai.
Esoknya aku periksa sepatuku, ternyata hampir tak berbentuk. Karena lari sekencang-kencangnya sepatuku hancur. Jariku nampak semua ketika aku coba memakainya. Lidahku kelu, air mata kembali merebak. Hari itu dengan memakai sandal jepit aku berangkat lebih awal, bapak memberiku uang untuk membeli sepatu baru. Aku diantar kakak perempuanku ke pasar dekat sekolahan. Sayang uang yang diberikan tidak cukup untuk membeli sepatu yang paling murah sekalipun. Lagi-lagi hampir jatuh air mataku ketika kakakku merayu ibu pedagang sepatu, dan memohon agar ia menjual sepatu seharga uang yang diberikan bapak.
Aku bersepatu baru hari itu, sedikit lebih besar dari ukuran kakiku. Karena tangisanku, ibu penjual sepatu merelakan dagangannya. Aku tidak jadi bolos, dan hari-hari berikutnya tidak lagi harus menutup sepatuku di angkot. Sepatuku bertahan agak lama, aku senang karena tidak harus mengguntung-gunting kainnya, karena saat sudah bolong kini aku bisa menambalnya dengan h***plast, si pembalut luka ;)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H