Makam-makam Tionghoa yang terdapat di kompleks ini kebanyakan berukuran besar dengan arsitektur megah khas Cina. Di Pemakaman Tionghoa ini ketahui ada batu nisan yang bertuliskan “Masa Pemerintahan Kaisar Guang Xu Dinasti Qing” dalam tulisan bahasa Mandarin. Ini menyatakan dengan jelas kalau sejak tahun 1800 di Cianjur sudah ada beberapa etnis Tionghoa. Saat ini, areal kompleks pemakaman Cina kuno ini dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Cianjur, dan masih digunakan hingga sekarang.
Peribadatan warga Tionghoa di Cianjur dipusatkan di Vihara Bhumi Parsija. Vihara ini merupakan tempat ibadah penganut agama Budha, tetapi menurut kepercayaan orang Cina, Budha adalah budaya China, jadi meskipun bukan pemeluk agama Budha, banyak warga Tionghoa ikut merayakan hari-hari besar yang dilakukan di vihara itu, salah satunya adalah imlek.
Vihara Bhumi Pharsjia terletak di Jalan Mangunsarkoro No. 60 yang secara administratif terletak di kampung Bojong Meron, Kelurahan Bojong Meron, Kecamatan Cianjur Kota. Vihara terletak di tengah pemukiman pada bagian baratnya, serta pada bagian utara, timur, dan selatan merupakan lingkungan kegiatan bisnis berupa pertokoan. Letaknya yang di tengah Kota Cianjur sangat mudah dijangkau dengan kendaraan roda dua dan roda empat.
Vihara ini dibangun pada tahun 1880 dan sampai sekarang telah mengalami beberapa kali pemugaran. Secara umum bangunan vihara yang dimiliki dan dikelola oleh Yayasan Vihara Bhumi Pharsjia terawat dengan baik dan fungsinya sebagai tempat ibadah masih dilangsungkan di sini.
Bangunan vihara dikelilingi oleh tembok dan menghadap ke timur dengan pintu gerbang berada di sisi timur. Vihara terbagi menjadi dua bagian, yaitu halaman dan bangunan vihara. Halaman terletak di bagian depan vihara berupa area segi empat. Bagian kedua adalah bangunan vihara yang berisi perlengkapan peribadatan. Pengaruh arsitektur bangunan Cina yang ditunjukkan oleh konstruksi bangunan, ragam hias, dan warna mendominasi vihara ini. Atap berbentuk pelana kuda, hiasan naga dan fauna lainnya, serta hiasan floralnya kental sekali sentuhan gaya Cina. Di samping itu, warna yang mendominasi adalah warna merah dan kuning yang menyala.
Sejarah dibangunnya rumah peribadatan ini bermula pada awal kedatangan orang-orang Tionghoa ke Cianjur sekitar permulaan abad 18, pada saat itu dicianjur belum ada satu pun tempat ibadah / kelenteng untuk peribadatan mereka. Semakin lama perantauan tionghoa datang ke cianjur semakin banyak, umumnya mereka bermata pencaharian sebagai pedagang dan petani.
Seiring dengan perkembangan jumlah mereka, maka banyak masyarakat tionghoa dicianjur , mengusulkan untuk mendatangkan patung dewa untuk memenuhi sarana peribadatan mereka. Berhubung belum memiliki kelenteng, rupang/patung Dewa yang mereka sebut kimsin Y.M kongco hok tek ceng sin dan Y.M kongco co su kong ditempatkan dirumah perwakilan mereka yaitu oey seng kiat.
Selanjutnya dibentuk organisasi berupa locu atau kepala peribadatan yang memimpin sembahyang di kediamannya selama setahun. Ada sebuah kesepakatan unik dimana ketika usai kirab cap go meh ( gotong toa pek kong) rupang/kimsin kongco beserta altarnya berpindah kerumah locu yang terpilih dan peribadatan dilaksanakan di rumah locu tersebut. Jika masa jabatan seorang locu telah habis maka patung dewa beserta altar nya akan berpindah kerumah locu baru yang terpilih
Menurut sejarah locu pertama yang terpilih adalah tan kie bie yang bertempat tinggal di daerah pasar suuk (sekitar pertigaan jl.hos cokroaminoto dan jl.barisan banteng). Selain itu rupang / kimsin beserta altar nya juga pernah juga ditempatkan di kediaman orang tua dari gouw su gwee (sekitar salakopi) dan dikediaman tjia hon lan (daerah sayang jl.moch yamin) serta pernah juga ke banyak tempat lainnya. Rupang / kimsin kongco beserta altar nya sudah berpindah ke 4 penjuru kota cianjur