Pernikahan dini, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh individu yang belum mencapai usia dewasa secara hukum, merupakan salah satu isu yang cukup kontroversial di Indonesia. Dalam konteks ini, perspektif hukum Islam berperan penting dalam mengatur dan memahami praktik pernikahan dini di negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia. Artikel ini akan membahas pernikahan dini di Indonesia dari perspektif hukum Islam dan apa saja dampak yang akan terjadi.
Masa kanak-kanak merupakan tahap awal dalam proses perkembangan manusia, dimulai sejak lahir hingga usia 18 tahun. Pada usia itu, keadaan fisik dan mentalnya masih labil dan belum matang, jadi harus mendapat perlindungi lebih. Ada banyak hak anak yang harus dipenuhi oleh otang tua, mulai dari kebutuhan batin, materi, pendidikan, tumbuh kembang yang baik dan lain-lain. Namun diantara hak-hak anak tersebut ada beberapa yang tidak disa tercapai karena pernikahan yang dilakukan ketika usia anak masih belum siap untuk membangun rumah tangga atau yang sering disebut dengan pernikahan dini.
Dalam pernikahan bukan hanya usia yang harus dipertimbangkan, akan tetapi ada beberapa hal yang harus tercapai sebelum pernikahan benar-benar dilangsungkan, seperti kematangan psikologis, kedewasaan dalam berfikir maupun bertindak, kesiapan mental, kecukupun materi dan juga ilmu dalam dunia pernikahan. Perkawinan anak, atau sering juga disebut pernikahan dini, merupakan masalah serius yang dihadapi oleh negara berkembang termasuk Indonesia. Berbagai kajian menyimpulkan perlunya menghentikan perkawinan anak dikarenakan dampaknya yang luar biasa terhadap kemanusiaan khususnya kematian ibu dan bayi.
Menurut Pakar Hukum Islam Ibnu Syubromah yang lebih menekankan pada tujuan pokok perkawinan menjelaskan bahwa sebenarnya perkawinan pada usia dini atau sebelum usia balig itu terlarang, yang didasari pada nilai esensial dari pernikahan itu yang sebenarnya untuk memenuhi kebutuhan  biologis dan juga untuk memiliki keturunan. Hal tersebut tentunya belum dimiliki pada anak yang belum baligh. Syubromah memahami masalah ini dari sudut pandang historis, sosiologis, dan budaya pada masa Nabi dan mencoba mengabaikan teks hadist masa lalu, namun pendapat Syubromah pada masa lalu kurang populer di tengah sebagian ulama Islam.Â
Berbeda dengan sekarang, Quraish Shihab sebagai ulama besar ahli tafsir Al-Qur'an dan Ketua NU Agil Shiraj menitikberatkan pendapat Ibnu Syubromah terdahulu, menurut kedua pakar ini untuk menikah umur 16 tahun masih terlalu muda dan perlu peningkatan umur perkawinan.
Menurut Madzhab Syafi'i menyebutkan  bahwa ayah atau jika tidak ada ayah maka kakek berhak memiliki kekuasaan atau hak Ijhar. Sebagaimana dalam al-Majmuk Syarh Muhadzab yang disebut Imam Nawawi yang artinya: "Diperbolehkan bagi ayah atau kakek menikahkan anak perawan tanpa kerelaannya, baik kanak-kanak maupun dewasa sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas radliyallahu 'anh, bahwa Nabi bersabda: 'Janda berhak atas dirinya ketimbang walinya, dan ayah seorang perawan boleh memerintah untuk dirinya'.Â
Hadits ini menunjukkan bahwa wali lebih berhak atas diri seorang perawan. Jika si perawan tersebut sudah dewasa, maka disunnahkan untuk meminta izin padanya, dan izinnya berupa diam, sebagaimana hadits riwayat ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda: 'Janda lebih berhak bagi dirinya ketimbang walinya, dan perawan memberikan izin untuk dirinya, dengan cara diam'."
Jadi seorang ayah memiliki kekuasaan atau hak untuk mengawinkan anak perempuannya  apabila seorang ayah dikatakan sebagai wali Mujhir, perkawinan bisa dilakukan meskipun tanpa persetujuan dari pihak yag bersangkutan dan  perkawinan tersebut dipandang sah secara hukum.Â
Menurut pandangan Madzhab Syafi'i mengenai perkawinan dini atau perkawinan dibawah umur diperbolehkan demi kemaslahatan bersama walaupun hal ini bertolak belakang dengan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, secara tekstual dalam Madzhab Syafi'I perkawinan dibawah umur tidak ada larangan baik dalam literatur-literatur kitab fiqih, bahkan tidak disebutkan dalam Al-qur'an dan hadis.
Jika pernikahan dini tetap dilakukan maka akan ada beberapa dampak negatif yang akan terjadi, diantaranya :
Kehilangan kesempatan untuk menikmati masa-masa remaja, pernikahan secara dini yang dilakukan secara tidak langsung memberi dampak kepada anak seperti percepatan kedewasaan, pada saat itu anak akan mengurusi dunia baru yang membutuhkan tanggung jawab yang sangat besar.