Cahaya yang masih tampak malu untuk menunjukkan dirinya membangunkan embun yang menyelimuti dedaunan, sementara suara kicau burung perlahan mengisi keheningan yang menyelimuti alam.Suara langkah-langkah kecil terdengar riuh di lantai kayu rumah sederhana. Seorang wanita bangun lebih awal dari siapa pun, memulai harinya dengan senyum meski lelah masih menyelimuti matanya.Â
Di dapur, tangan-tangan terampilnya menyiapkan hidangan sederhana, namun penuh cinta. Kehangatan tersebar di seluruh ruangan, seperti sinar mentari yang baru terbit, membawa kehidupan dan harapan untuk orang-orang yang ia cintai.
Hari itu seperti hari-hari biasanya,seorang wanita yang bangun sebelum matahari menampakkan sinarnya entah pukul berapa untuk memulai melakukan rentetan kegiatan yang sudah biasa ia lakukan.Tangan yang sudah trampil melakukan kegiatannya,bau asap dari ruangan itu menunjukkan adanya aktivitas didalamnya.
Karena mengetahui adanya aktivitas diruangan itu,tak lama terdengar suara langkah kecil yang menghampirinya.Senyum yang tak bisa disembunyikan dari seorang anak kecil itu saat melihat seorang wanita yang sering ia panggil dengan nama ibu.
Tanpa banyak bicara sang ibu memeluk anaknya dengan penuh kasih sayang,tak ada rasa lelah yang terlihat dimatanya namunn rasa kebahagiaan saja yang terpancar.Dengan langkah kecilnya sang anak mulai menjauh dari jangkauannya,namun masih terlihat di sudut ruangan itu.Sang ibu merasa senang dan sesegera mungkin menyelesaikan tugasnya di dapur,sebuah nasi hangat dan lauk yang terlihat sederhana namun terlihat menggiurkan bagi sang anak yang memperhatikan ibunya sedari tadi untuk menyiapkan sarapan pagi ini.
Diruangan lain ibu membangunkan dua anaknya yang lain.Tanpa banyak bicara mereka segera sarapan dan menyantap makanan dengan lahap.Mereka melakukan kegiatan yang berat pada sekolah atau di sawah setelah menikmati masakan yang selalu siap setiap hari tanpa diminta.
Setelah sarapan ibu segera membersihkan piring dan anak-anaknya bersiap untuk ke sekolah guna menambah ilmu,sedangkan ibu setelah kepergian anaknya ia segera berangkat ke belakang rumah.Setiap kali ia menanam atau menyiram tanaman itu selalu ada doa yang ia ucapkan dalam hati,berharap tanaman itu akan tumbuh dengan sehat dan akan menjadi rezeki bagi keluarganya.
Matahari yang sebelumnya malu-malu untuk menampakkan sinarnya namun kini sudah membuat tubuh merasa panas,tidak menyulutkan semangat ibu untuk memanen jagungnya.Namun ibu tetap istirahat sejenak untuk minum atau memakan bekalnya dari rumah yang ia siapkan tadi pagi untuk makan siang.Setelah makan siang selesai sesegera mungkin ibu melanjutkan pekerjaanya agar ia cepat selesai dan kembali kerumah.
Sekarung hasil panen ia panggul  seorang diri langkah yang mesti dan peluh yang membasahi wajahnya bukti lelahnya tubuh yang ia jalani tanpa keluhan. Sesekali ia berhenti sejenak, mengusap keringat di dahi dengan ujung lengan bajunya yang lusuh. Di tengah keheningan ladang, wanita itu menghela napas dalam, memandang sekeliling yang penuh hamparan hijau, lalu melanjutkan langkahnya dengan tekad yang tak tergoyahkan.
"Kau selalu bekerja dengan penuh semangat tanpa merasakan rasa lelah".
Tegur seorang tetangga yang melihat ia selalu semangat tanpa rasa lelah yang terlihat.
"Jika ada sesuatu yang diperjuangkan,maka lelah hanyalah selingan".
Jawab ibu yang mana ia tahu, setiap butir keringat adalah harga untuk masa depan anak-anaknya, dan untuk itu, ia rela memikul beban seberat apa pun tanpa rasa gentar.
Sinar matahari yang mulai menghilang rasa lelah yang terasa dalam dirinya membawa langkah ibu untuk pulang kerumah.Hati yang penuh kepuasan saat memasuki sebuah ruangan yang tidak besar bahkan ruangan itu terlihat berantakan karena buku yang berada dimana-mana.
"Ibu sudah pulang?"
Tanya sang bungsu pada ibu dengan senyum manisnya
"Ya ibu sudah pulang,lanjutkan belajarnya ibu ingin bersih-bersih dan masak untuk makan malam kita nanti"
"Ya bu"
Jawab singkat sang anak.
Malam perlahan menyelimuti rumah itu ,menggantikan kehangatan sore dengan angin dingin yang berbisik di balik jendela rumah mereka. Di dapur, ibu kembali sibuk menyiapkan makan malam. Meski tubuhnya terasa berat dan punggungnya mulai pegal, ia tetap bekerja dengan telaten, sesekali tersenyum saat mendengar tawa anak-anaknya dari ruang depan.
Selesai memasak, ibu membawa sepanci sayur dan lauk sederhana ke meja makan. Anak-anaknya duduk dengan rapi, menunggu ibu memberikan tanda untuk mulai makan. Tak ada yang memulai sebelum ibu bergabung di meja, sebuah kebiasaan kecil yang ibu tanamkan sejak mereka masih sangat kecil.
Mereka makan dengan lahap, sesekali saling bertukar cerita tentang hari mereka di sekolah dan di sawah. Ibu mendengarkan dengan sabar, memberikan nasihat kecil di sela-sela cerita anak-anaknya. Matanya menatap mereka dengan penuh kasih, merasa bangga melihat mereka tumbuh dan belajar menghadapi kehidupan yang serba sederhana namun penuh makna.Namun, di tengah makan malam itu, anak sulungnya, yang berusia lima belas tahun, menghentikan suapannya dan memandang ibu dengan serius.
"Bu, aku sudah besar. Aku ingin bekerja setelah sekolah, biar ibu tidak perlu bekerja terlalu berat lagi," kata anak sulungnya.
Ibu terdiam. Mendengar hal itu membuat hatinya terharu, tapi ia juga merasa khawatir. Ia tahu anak sulungnya tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab, namun ia tak ingin beban berat yang ia pikul selama ini berpindah ke pundak anak-anaknya. Bagi ibu, masa depan mereka harus dipenuhi dengan pendidikan dan kesempatan, bukan kerja keras di usia yang masih muda.
"Terima kasih, Nak,"
"Tapi biarlah ibu yang bekerja. Tugas kalian sekarang adalah belajar. Itu sudah cukup membantu ibu."jawab ibu lembut sambil mengelus punggung anaknya.
Anak sulungnya terdiam, tampak berpikir.
"Tapi, Bu...," suaranya sedikit gemetar,
"aku tak ingin ibu selalu kelelahan begini. Aku ingin kita punya kehidupan yang lebih baik."
Mendengar kalimat itu, ibu tak kuasa menahan air matanya. Bagi anak-anaknya, ia selalu berusaha menunjukkan senyum dan ketenangan, seolah semuanya baik-baik saja. Namun, malam itu, kata-kata anak sulungnya seolah membuka luka dan kelelahan yang ia simpan rapat selama ini. Ibu menghela napas dalam-dalam, kemudian menarik anaknya ke dalam pelukannya.
"Kamu tahu, Nak," bisiknya lembut,
"kebahagiaan ibu adalah melihat kalian tumbuh dengan baik, menjadi anak yang pintar dan baik hati. Jangan khawatirkan ibu. Selama kalian bahagia dan bisa meraih mimpi kalian, itu sudah cukup bagi ibu."
Malam itu, keheningan menyelimuti mereka. Ibu tetap dalam pelukannya, menguatkan dirinya sekaligus anaknya dengan cinta yang tak terukur. Anak-anak yang lain terdiam, merasakan haru yang tak biasa. Mereka mulai memahami bahwa perjuangan ibu adalah untuk mereka, bahwa setiap tetes keringat yang ibu keluarkan adalah untuk masa depan yang mereka impikan.
Setelah makan malam selesai dan anak-anak pergi ke kamar masing-masing, ibu duduk sendiri di ruang tengah. Pandangannya menerawang ke luar jendela, menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang. Dalam hati, ia berdoa, berharap agar anak-anaknya bisa menjalani kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang tak perlu berjuang sekeras dirinya. Ia tahu, perjalanan masih panjang dan penuh tantangan, namun malam itu ia merasa yakin bahwa semua pengorbanannya tak akan sia-sia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H