Mohon tunggu...
Intan Kisnatallia
Intan Kisnatallia Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Pelajar SMA Kota Mojokerto

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengabdian Tanpa Pamrih

12 November 2024   08:24 Diperbarui: 12 November 2024   08:48 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu terdiam. Mendengar hal itu membuat hatinya terharu, tapi ia juga merasa khawatir. Ia tahu anak sulungnya tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab, namun ia tak ingin beban berat yang ia pikul selama ini berpindah ke pundak anak-anaknya. Bagi ibu, masa depan mereka harus dipenuhi dengan pendidikan dan kesempatan, bukan kerja keras di usia yang masih muda.

"Terima kasih, Nak,"

"Tapi biarlah ibu yang bekerja. Tugas kalian sekarang adalah belajar. Itu sudah cukup membantu ibu."jawab ibu lembut sambil mengelus punggung anaknya.

Anak sulungnya terdiam, tampak berpikir.

"Tapi, Bu...," suaranya sedikit gemetar,
"aku tak ingin ibu selalu kelelahan begini. Aku ingin kita punya kehidupan yang lebih baik."

Mendengar kalimat itu, ibu tak kuasa menahan air matanya. Bagi anak-anaknya, ia selalu berusaha menunjukkan senyum dan ketenangan, seolah semuanya baik-baik saja. Namun, malam itu, kata-kata anak sulungnya seolah membuka luka dan kelelahan yang ia simpan rapat selama ini. Ibu menghela napas dalam-dalam, kemudian menarik anaknya ke dalam pelukannya.

"Kamu tahu, Nak," bisiknya lembut,

"kebahagiaan ibu adalah melihat kalian tumbuh dengan baik, menjadi anak yang pintar dan baik hati. Jangan khawatirkan ibu. Selama kalian bahagia dan bisa meraih mimpi kalian, itu sudah cukup bagi ibu."

Malam itu, keheningan menyelimuti mereka. Ibu tetap dalam pelukannya, menguatkan dirinya sekaligus anaknya dengan cinta yang tak terukur. Anak-anak yang lain terdiam, merasakan haru yang tak biasa. Mereka mulai memahami bahwa perjuangan ibu adalah untuk mereka, bahwa setiap tetes keringat yang ibu keluarkan adalah untuk masa depan yang mereka impikan.


Setelah makan malam selesai dan anak-anak pergi ke kamar masing-masing, ibu duduk sendiri di ruang tengah. Pandangannya menerawang ke luar jendela, menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang. Dalam hati, ia berdoa, berharap agar anak-anaknya bisa menjalani kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang tak perlu berjuang sekeras dirinya. Ia tahu, perjalanan masih panjang dan penuh tantangan, namun malam itu ia merasa yakin bahwa semua pengorbanannya tak akan sia-sia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun