Mohon tunggu...
Intan Indah Yuniar
Intan Indah Yuniar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca & Menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Prinsip-Prinsip Halal dan Haram dalam Kepemilikan Harta

16 Oktober 2024   15:19 Diperbarui: 16 Oktober 2024   15:19 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

HartaSecara harfiyah, harta yang dalam kajian fiqh Islam khususnya fiqh muamalah disebut maal() yang berarti condong, cenderung dan miring. Penggunaan kata maalsebab manusia selalu cenderung kepadanya, bahkan sangat suka kepada maal.3Allah Swt menyatakan tentang kecondongan hati manusia terhadap harta ini dalam firman-Nya

Harta merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan yang sangat dibutuhkan, tetapi sekaligus juga menjadi ujian bagi umat manusia. Banyak orang yang bekerja keras siang dan malam, mengorbankan kesehatan, waktu, dan tenaga untuk mengumpulkan kekayaan. 

Kemampuan dan kapasitas setiap individu dalam mengumpulkan harta berbeda-beda, ada yang melakukannya melalui kerja keras dan ketekunan, sementara yang lain mungkin hanya mengandalkan tanda tangan atau posisi tertentu.

Secara etimologi,kata"milik"berasal dari bahasa arab al-milk yang berarti penguasaan terhadap sesuatu.secara terminologi,definisi al milk sebagaimana dikemukakan ulama fiqh adalah peng hususan seseorang terhadap suatu benda yang memungkinkannya untuk bertindak hukum terhadap benda itu selama tidak adanya halangan syara'.

Prinsip kehalalan merujuk pada segala sesuatu yang diizinkan atau diperbolehkan menurut syariah Islam. Kata "halal" berasal dari bahasa Arab, yang berarti "lepas" atau "tidak terikat." Dalam konteks ini, halal mencakup berbagai aspek, terutama makanan dan minuman, tetapi juga meliputi perilaku dan transaksi seperti jual beli.

Sesuatu dianggap halal jika tidak mendatangkan sanksi dari Allah SWT, sementara lawan dari halal adalah haram, yang mencakup segala hal yang dilarang. Tindakan yang haram berdampak negatif, baik secara moral maupun spiritual, dan dibagi menjadi dua kategori:

Haram lidzatihi: Hal-hal yang secara intrinsik dilarang, seperti darah, babi, dan bangkai.

Haram li ghairihi: Hal-hal yang pada dasarnya tidak dilarang, tetapi menjadi haram karena faktor lain, seperti riba dalam transaksi keuangan atau perjudian.

Prinsip kehalalan juga menekankan pentingnya memastikan bahwa transaksi dan tindakan yang dilakukan tidak mengandung unsur ketidakpastian (gharar) atau penipuan, agar tetap dalam koridor syariah. Dengan demikian, pemahaman tentang halal dan haram sangat penting dalam kehidupan sehari-hari umat Islam. 

Para ulama membagi harta haram menjadi dua kategori:

pertama:harta haram yang bersifat intrinsik, yaitu harta yang diharamkan oleh syariat berdasarkan asal dan sifatnya. Ini mencakup semua hal yang jelas diharamkan, seperti minuman keras, babi, dan bangkai. 

Pengharaman ini tercantum dalam beberapa ayat, contohnya: "Diharamkan bagi kamu memakan bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, serta hewan yang mati karena tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk, atau diterkam binatang buas, kecuali jika kamu sempat menyembelihnya.

kedua ada harta haram yang disebabkan oleh faktor eksternal, sering disebut sebagai harta haram karena alasan tertentu (haram bisababihi) atau karena cara mendapatkannya (haram likasbihi). 

Harta haram dalam kategori ini tidak diharamkan berdasarkan asalnya, tetapi karena sifat yang ditimbulkan oleh cara perolehannya. Contohnya adalah harta riba; meskipun asal harta itu halal, ia menjadi haram bagi orang yang mengusahakannya karena cara yang digunakan dilarang oleh syariat.

Para ulama fiqh mengklasifikasikan harta dari berbagai sudut pandang. Dari segi kehalalan penggunaannya menurut syariat, harta dibagi menjadi dua kategori: harta mutaqawwim dan ghair mutaqawwim. 

Harta mutaqawwim adalah harta yang boleh dimanfaatkan karena asal dan cara perolehannya yang halal. Sementara itu, harta ghair mutaqawwim adalah harta yang tidak boleh dimanfaatkan, baik dari segi zatnya maupun cara mendapatkannya yang tidak halal.

Dengan pembagian ini, tidak semua harta dapat dimanfaatkan oleh seorang Muslim. Terdapat jenis-jenis harta yang diharamkan berdasarkan zatnya, seperti bangkai, darah, babi, khamar, dan lain-lain, yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan hadits Rasulullah SAW. Selain itu, ada juga harta yang haram bukan karena zatnya, tetapi karena cara mendapatkannya yang tidak sesuai dengan syariat, seperti hasil dari pencurian, penipuan, korupsi, dan praktik riba.

Masalah halal dan haram merupakan hak prerogatif Allah swt dan Rasulnya untuk menentukannya, oleh karna itu, penetapan masalah halal dan haram harus mengacu kepada sumber-sumber hukum Islam. 

Penentuan halal dan haram adalah hak eksklusif Allah SWT dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, penetapan status halal atau haram harus merujuk pada sumber-sumber hukum Islam, termasuk ayat-ayat Al-Qur'an, hadis Nabi, qiyas, dan ijma ulama.

Halal berarti terhindar dari hal-hal yang haram, baik dari segi substansi, cara perolehan, maupun pemanfaatannya. Setiap aktivitas ekonomi harus memenuhi prinsip halal dan menghindari yang haram. 

Salah satu bidang yang berkembang pesat adalah industri halal, termasuk makanan, pakaian, keuangan, perjalanan, obat-obatan, kosmetik, serta media dan rekreasi halal. Yusuf Qaradhawi menyebutkan beberapa prinsip terkait halal dan haram dalam muamalah:

Pada dasarnya, semua yang berhubungan dengan muamalah adalah halal, kecuali jika ada nash yang jelas dan tegas dari syariah yang mengharamkannya. 

Tanpa nash yang sah, suatu hal tetap dianggap mubah. Hal-hal yang diharamkan oleh Allah memiliki alasan dan hikmah tertentu. Ruang lingkup yang haram sangat terbatas, sementara yang halal sangat luas, dengan jumlah nash yang tegas mengenai haram yang sangat sedikit.

Penetapan halal dan haram adalah hak prerogatif Allah SWT. Islam menekankan bahwa hak ini harus bebas dari campur tangan manusia, apapun statusnya dalam agama atau kehidupan duniawi.

 Mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram adalah tindakan syirik terhadap Allah SWT. Mengharamkan sesuatu yang halal serupa dengan syirik, dan Al-Qur'an menentang keras orang-orang yang mengharamkan makanan baik yang Allah izinkan.

Kesimpulan

Kesimpulan dari artikel tersebut adalah bahwa prinsip halal dan haram dalam kepemilikan harta sangat penting dalam fiqh Islam, terutama dalam konteks muamalah. Harta, yang disebut sebagai "maal," memiliki peran sentral dalam kehidupan manusia dan menjadi ujian bagi mereka. Kehalalan harta ditentukan oleh syariat Islam, dengan hal-hal yang dianggap halal jika tidak melanggar ketentuan Allah SWT dan haram jika melanggar. 

Ada dua kategori harta haram: harta yang secara intrinsik dilarang dan harta yang menjadi haram karena cara perolehannya. Penetapan halal dan haram adalah hak eksklusif Allah dan Rasul-Nya, yang harus berlandaskan pada sumber-sumber hukum Islam, seperti Al-Qur'an dan hadis. 

Prinsip-prinsip ini menekankan bahwa setiap aktivitas ekonomi harus memenuhi kriteria halal, termasuk dalam industri halal yang terus berkembang. Pada dasarnya, semua hal dalam muamalah dianggap halal kecuali ada nash yang jelas yang mengharamkannya. Mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram dianggap sebagai tindakan syirik yang harus dihindari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun