Mohon tunggu...
Dwi Wahyu Intani
Dwi Wahyu Intani Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer - content writer

"The pen is the tongue of the mind" -- Miguel de Cervantes

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Optimisme Kurikulum Merdeka Melahirkan Generasi Emas yang Berakhlakul Karimah

29 Maret 2023   21:53 Diperbarui: 29 Maret 2023   22:28 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merdeka belajar (pexels.com/Emily Ranquist) https://www.pexels.com/id-id/foto/fotografi-orang-lulus-1205651/ 


Selain itu, kurikulum merdeka juga diharapkan mampu mengembangkan profil pelajar pancasila, meliputi: berakhlakul karimah, kreatif, mampu bergotong-royong, memiliki toleransi dalam keberagaman (kebhinnekaan global), kritis, dan mandiri. Menyambut hal ini, tentu saya sangat antusias hingga curi-curi browsing bagaimana penerapan konsep kurikulum merdeka.


Berangkat dari pengalaman dan kejadian di atas, saya ingin sekali mengadopsi konsep sistem belajar baru, merdeka belajar, ini di rumah. Memulai lebih awal dari lingkungan terdekat mengingat urgensi manfaat sistem tersebut.


Di rumah, saya memiliki saudara-saudara kecil yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Layaknya individu lainnya, mereka unik dengan kemampuannya masing-masing. Ada yang unggul dalam menghafal, menggambar, atau justru pada praktik-praktik kehidupan sehari-hari, misalnya membantu aktivitas rumah tangga atau menerapkan praktik agama. Selain itu, cara mereka mengekspresikan diri juga sangat beragam, ada yang menyukai kegiatan bernyanyi atau membuat prakarya.


Sayangnya, ada beberapa asesmen yang luput dari mereka (termasuk dari perhatian orangtuanya), seperti pada penguatan karakter atau bahkan bidang akademiknya. Misalnya, si A yang sudah memasuki jenjang SD tetapi  belum bisa membaca dan menulis. Si B yang pandai menggambar dan imajinasi, sulit sekali menerima materi teoritis atau hafalan. Si C yang belum memiliki pemahaman yang baik tentang sifat-sifat baik, seperti ucapan yang baik, membantu teman, atau lainnya.


Untuk bisa merangkul semuanya, tentu tak bisa hanya mengandalkan satu metode belajar atau menyamaratakan cara belajar mereka. Beberapa pendekatan individual menjadi pilihan untuk bisa mengakses mereka dengan lebih intens.


Misalnya, si A yang belum bisa membaca dan menulis, tentu tidak bisa digabungkan dengan teman sebayanya yang sudah pandai membaca dan menulis. Mereka juga tidak bisa diberikan penugasan yang melibatkan baca tulis, melainkan diasah terlebih dahulu kemampuan dasarnya sehingga bisa mengakses materi tingkat lanjut.


Contoh lagi, anak yang lebih mudah belajar melalui gambar, kita buatkan gambar ilustrasi yang memudahkan mereka memahami materi, atau meminta mereka membuat gambarnya sendiri. Misal, saat belajar berhitung pengurangan, kita buat gambar bebek sedang bermain di sungai, kemudian hanyut terbawa air untuk menggambarkan pengurangan jumlah objek yang ada.


Contoh lain terkait pendidikan karakter, untuk membuat anak berperilaku atau bertutur yang baik, perlu secara langsung kita contohkan tindakan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengenalkan mereka pada pendidikan seks yang mungkin saat ini tak kalah tinggi urgensinya, kita bisa menjelaskannya dengan bahasa yang mereka pahami. Dalam hal ini, penting sekali untuk tak membuat istilah-istilah sesat untuk memperhalus. Misalnya menyebut penis dengan "burung". Ini justru akan membingungkan anak. Tidak masalah menyebut penis, vagina, vulva, rahim, dan seterusnya.


Selain itu, kita juga bisa memperkenalkan anggota tubuh mana saja yang boleh dilihat atau disentuh oranglain, mana yang tidak. Biar anak-anak mudah mengingatnya, ini bisa dikenalkan melalui lagu atau stiker bermain pengenalan organ reproduksi.


Selain pendekatan yang sesuai, proses belajar yang menyenangkan juga tak kalah penting  agar tidak menciptakan beban bagi anak. Proses belajar juga tak harus terjadi di waktu-waktu belajarnya, melainkan juga bisa diselipkan pada waktu bermain dengan selingan ringan. Dengan begitu, proses belajar akan serasa tidak seperti belajar. 


Dalam praktiknya,  metode yang menyenangkan akan membuat anak tertarik untuk belajar, bahkan di tengah waktu bermainnya. Tak jarang, justru mereka yang terkadang meminta belajar sendiri tanpa kita yang memintanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun