Mohon tunggu...
Dwi Wahyu Intani
Dwi Wahyu Intani Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer - content writer

"The pen is the tongue of the mind" -- Miguel de Cervantes

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Optimisme Kurikulum Merdeka Melahirkan Generasi Emas yang Berakhlakul Karimah

29 Maret 2023   21:53 Diperbarui: 29 Maret 2023   22:28 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Merdeka belajar (pexels.com/Emily Ranquist) https://www.pexels.com/id-id/foto/fotografi-orang-lulus-1205651/ 


September 2015, adalah saat-saat paling membahagiakan selama perjalanan pendidikan saya. "Akhirnya lulus kuliah juga!!!", jerit batin yang terdengar sangat nyaring.


Bagaimana saya tidak bahagia, jika setelah Iulus saya tak perlu lagi begadang untuk mengerjakan laporan-laporan praktikum, menyiapkan tugas-tugas kuliah dan presentasi, bahkan menamatkan hafalan materi-materi pelajaran dari awal hingga akhir pertemuan kelas semalaman suntuk menjelang ujian. Maklum, belajar dengan sistem kebut semalam tak ubahnya menjadi kebiasaan yang tak bisa dihindari.


Perayaan kelulusan ini seolah memberi rasa lega yang tak terbendung. Di waktu bersamaan, saya juga baru menyadari adanya perasaan lelah yang teramat sangat. Bukan, saya tidak lelah untuk menuntut atau mencari ilmu. Hanya saja, merasa kurang pas dengan sistem pendidikan  kala itu.


Kalau boleh diringkas, pengalaman belajar yang saya peroleh di sekolah tak jauh dari menghafal dan menyalin. Pendekatan untuk kreativitas, berpikir kritis, pola pikir mandiri, bahkan terkait pembentukan karakter rasanya sangat minim.


Setiap hari datang masuk kelas, duduk menerima materi, kemudian pulang dengan entah apa yang telah dipelajari (beberapa anak mungkin sudah paham dengan pelajaran hari ini, beberapa lain mungkin seperti saya, hehe). Saat ada tugas, sibuk kesana kemari mencari 'bala bantuan'. "Yang penting selesai, yang penting ngumpulin", secara tak sengaja menjadi prinsip hidup yang kental di masa-masa sekolah.


Bagaimana saat ujian? Saya sibuk merapal semua materi-materi dari awal hingga akhir, mirip mbah dukun baca mantra. Tentu saja, ini bukanlah cara belajar yang efektif, namun cukup membantu mengisi kekosongan materi di kepala saya.


Jika menengok lebih jauh ke masa-masa SD, SMP, SMA, cara belajar ini juga tak jauh berbeda. Apalagi menjelang ujian nasional, kebut 3 malam untuk 3 tahun.


Hmm, lagi-lagi saya merasa pembelajaran yang saya terima terlalu teoritis dan cukup jauh dari kebutuhan dunia nyata, apalagi di era yang semakin modern ini. Sistem belajar-mengajar tak ubahnya cara klasik yang disampaikan secara searah, silabus menjadi patokan utama pembelajaran tanpa menengok kebutuhan siswa secara utuh, hingga tuntutan-tuntutan belajar yang hanya mengacu pada angka bukan kompetensi secara nyata.


Masa-masa setelah lulus kuliah


Masa-masa bahagia itu saya nikmati dengan membuat dan mengirimkan banyak sekali surat Iamaran kerja ke berbagai instansi. Berharap segera mendapatkan pekerjaan yang bagus sesuai harapan setelah lulus dari kampus yang bergengsi.


Namun nyatanya, tak semudah itu. Melamar kerja bagi freshgraduate ternyata sangat menantang.  Pengalaman adalah salah satu batu sandungan yang kerap kali menjadi alasan. Sementara saat itu, magang (beberapa bulan) adalah satu-satunya pengalaman kerja yang paling bisa diandalkan.


Beberapa pengalaman kerja sampingan waktu kuliah seperti menjadi tutor, asisten Iaboratorium dan beberapa pengalaman organisasi seperti tak banyak dilirik. Beberapa mata kuliah pilihan yang saya ambil untuk meningkatkan softskills ternyata juga tak banyak membantu.


Beruntung, saya akhirnya mendapatkan pekerjaan yang bisa dibilang relevan dengan jurusan kuliah. Meski lagi-lagi saya masih harus banyak belajar. Selain kompetensi, keterampilan juga masih perlu  diasah lagi. Pada nyatanya, belajar sejauh itu belum cukup menjadi bekal untuk terjun ke dunia nyata ataupun dunia kerja secara mumpuni.


Pendidikan karakter yang tak terlalu terjamah


Akhir-akhir ini mungkin juga sering kita dengar kabar kenakalan remaja atau pelajar di luar atau dalam lingkungan sekolah. Masih ingat dengan kasus pelajar yang menendang lansia di Tapanuli Selatan? Siswa yang memukul gurunya karena tak terima diperingatkan saat membuat kegaduhan di kelas? Murid SMK yang menganiaya gurunya karena ditegur merokok di kelas? Atau kasus perundangan yang dilakukan oleh siswa SMP dimana korban dipakaikan helm dan ditendang hingga pingsan?


Diantara kasus-kasus tersebut, ada satu kasus yang membuat saya semakin ngeri membayangkan kondisi moral para generasi muda saat ini. Di salah satu media sosial, seorang orangtua membagikan cerita tentang anaknya yang masih duduk di bangku SD hampir menjadi korban pelecehan seksual oleh temannya sendiri. Pelaku tak sendiri, melainkan juga mengajak temannya yang lain melakukannya. Beruntung, korban memiliki pemahaman yang baik terkait organ tubuh dan batasannya. Sehingga ia bisa menolak ajakan temannya tersebut dan melaporkannya ke orangtuanya.


Sayangnya, kejadian itu bukanlah satu-satunya kasus pelecehan seksual yang terjadi di kalangan anak di bawah umur. Di kesempatan lain, juga pernah dilaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpa siswa taman kanak-kanak oleh teman bermainnya yang duduk di bangku SD, yang tak lain adalah tetangganya sendiri. Lantas, ini memicu trauma yang mendalam bagi sang anak hingga tak mau pergi ke sekolah lagi.


Beberapa kejadian di atas tentu saja menjadi cambukan keras, terutama bagi perempuan sepertj saya yang nantinya punya peran sebagai Madrasatul Ulaa (sekolah pertama) bagi generasi penerus. Rasa pesimis terhadap pendidikan anak pun kerap kali tak terhindarkan sebab sistem pendidikan yang menurut saya masih terlalu abai atau belum cukup menjamah pentingnya pendidikan karakter anak dalam praktiknya.


Memang, kita tak bisa hanya bertumpu pada sistem. Pendidikan anak juga melibatkan peran besar orangtua di rumah, tak bisa sepenuhnya "diserahkan" pada sekolah. Namun, sinergitas peran orangtua dan sistem pendidikan di luar rumah juga tak kalah penting untuk mendukung keberhasilan satu sama lain.


Optimisme kurikulum merdeka dapat melahirkan generasi emas yang berakhlakul karimah


Beberapa tahun terakhir, program Kurikulum Merdeka dan Merdeka Belajar santer digaungkan di berbagai lini oleh Kemendikbudristek. Program ini digadang-gadang sebagai upaya pemulihan dan transformasi dunia pendidikan Indonesia yang lebih proaktif dalam peningkatan mutu dan sumber daya pendidikan.


Tak hanya guru, berbagai pihak seperti orangtua, tenaga pendidik, kedinasan, hingga industri diajak bersama-sama berperan aktif dalam transformasi belajar yang tercakup dalam Kurikulum merdeka. Guru dan tenaga pendidik difasilitasi penuh untuk menciptakan model pembelajarannya sendiri yang disesuaikan dengan karakteristik sekolah dan kebutuhan siswa, perguruan tinggi dan industri difasilitasi untuk membangun kolaborasi untuk mewujudkan link and match dan menjawab tantangan kebutuhan industri yang dinamis, kedinasan yang diharapkan dapat terus membantu sekolah untuk meng-upgrade proses belajar guru dengan informasi dan pelatihan, serta peran orangtua yang diharapkan dapat membantu siswa didik mengerjakan projek-projek sekolah dan meneruskan pembelajaran di rumah.


Selain itu, kurikulum merdeka juga diharapkan mampu mengembangkan profil pelajar pancasila, meliputi: berakhlakul karimah, kreatif, mampu bergotong-royong, memiliki toleransi dalam keberagaman (kebhinnekaan global), kritis, dan mandiri. Menyambut hal ini, tentu saya sangat antusias hingga curi-curi browsing bagaimana penerapan konsep kurikulum merdeka.


Berangkat dari pengalaman dan kejadian di atas, saya ingin sekali mengadopsi konsep sistem belajar baru, merdeka belajar, ini di rumah. Memulai lebih awal dari lingkungan terdekat mengingat urgensi manfaat sistem tersebut.


Di rumah, saya memiliki saudara-saudara kecil yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Layaknya individu lainnya, mereka unik dengan kemampuannya masing-masing. Ada yang unggul dalam menghafal, menggambar, atau justru pada praktik-praktik kehidupan sehari-hari, misalnya membantu aktivitas rumah tangga atau menerapkan praktik agama. Selain itu, cara mereka mengekspresikan diri juga sangat beragam, ada yang menyukai kegiatan bernyanyi atau membuat prakarya.


Sayangnya, ada beberapa asesmen yang luput dari mereka (termasuk dari perhatian orangtuanya), seperti pada penguatan karakter atau bahkan bidang akademiknya. Misalnya, si A yang sudah memasuki jenjang SD tetapi  belum bisa membaca dan menulis. Si B yang pandai menggambar dan imajinasi, sulit sekali menerima materi teoritis atau hafalan. Si C yang belum memiliki pemahaman yang baik tentang sifat-sifat baik, seperti ucapan yang baik, membantu teman, atau lainnya.


Untuk bisa merangkul semuanya, tentu tak bisa hanya mengandalkan satu metode belajar atau menyamaratakan cara belajar mereka. Beberapa pendekatan individual menjadi pilihan untuk bisa mengakses mereka dengan lebih intens.


Misalnya, si A yang belum bisa membaca dan menulis, tentu tidak bisa digabungkan dengan teman sebayanya yang sudah pandai membaca dan menulis. Mereka juga tidak bisa diberikan penugasan yang melibatkan baca tulis, melainkan diasah terlebih dahulu kemampuan dasarnya sehingga bisa mengakses materi tingkat lanjut.


Contoh lagi, anak yang lebih mudah belajar melalui gambar, kita buatkan gambar ilustrasi yang memudahkan mereka memahami materi, atau meminta mereka membuat gambarnya sendiri. Misal, saat belajar berhitung pengurangan, kita buat gambar bebek sedang bermain di sungai, kemudian hanyut terbawa air untuk menggambarkan pengurangan jumlah objek yang ada.


Contoh lain terkait pendidikan karakter, untuk membuat anak berperilaku atau bertutur yang baik, perlu secara langsung kita contohkan tindakan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mengenalkan mereka pada pendidikan seks yang mungkin saat ini tak kalah tinggi urgensinya, kita bisa menjelaskannya dengan bahasa yang mereka pahami. Dalam hal ini, penting sekali untuk tak membuat istilah-istilah sesat untuk memperhalus. Misalnya menyebut penis dengan "burung". Ini justru akan membingungkan anak. Tidak masalah menyebut penis, vagina, vulva, rahim, dan seterusnya.


Selain itu, kita juga bisa memperkenalkan anggota tubuh mana saja yang boleh dilihat atau disentuh oranglain, mana yang tidak. Biar anak-anak mudah mengingatnya, ini bisa dikenalkan melalui lagu atau stiker bermain pengenalan organ reproduksi.


Selain pendekatan yang sesuai, proses belajar yang menyenangkan juga tak kalah penting  agar tidak menciptakan beban bagi anak. Proses belajar juga tak harus terjadi di waktu-waktu belajarnya, melainkan juga bisa diselipkan pada waktu bermain dengan selingan ringan. Dengan begitu, proses belajar akan serasa tidak seperti belajar. 


Dalam praktiknya,  metode yang menyenangkan akan membuat anak tertarik untuk belajar, bahkan di tengah waktu bermainnya. Tak jarang, justru mereka yang terkadang meminta belajar sendiri tanpa kita yang memintanya.


Sinergitas peran orangtua, guru, tenaga pendidik (komunitas belajar) sangat penting untuk mendukung tercapainya keberhasilan merdeka belajar, terutama pada generasi termuda. Pembelajaran yang seirama di rumah maupun sekolah juga tak bisa diabaikan, sebab ini juga memegang andil untuk mengoptimalkan kompetensi, keterampilan, maupun pengembangan karakter anak secara keseluruhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun