Ini cerita saya, dua tahun yang lalu. Saya Intan, Mahasiswi di sebuah perguruan tinggi negeri di Surakarta, Jawa Tengah. Waktu itu, saya baru saja menempati kostan baru. Saya memutuskan untuk pindah karena kostan lama saya tidak menyediakan dapur.
Kondisi keuangan saya sedang kurang sehat, jadi saya harus bisa berhemat dengan memasak sendiri dan menjadi reseller online shop sebagai pekerjaan sampingan.
Kost-kostan saya saat itu sepi sekali, padahal ada sekitar sepuluh kamar di rumah berlantai dua yang semuanya berpenghuni. Mereka sibuk sendiri di kamar masing-masing. Saat mereka lewat di ruang tengah, saya selalu menyapanya, tapi hanya dibalas anggukan dan senyuman saja.
Suatu ketika, saya sedang ada di kampus. Saat jam istirahat, tiba-tiba handphone saya berdering, ada panggilan masuk dari nomor yang tidak saya kenal. Ternyata dari seorang Kurir JNE yang membawa paket dagangan saya.
Kata Bapak Kurirnya, di kost tidak ada siapa-siapa. Akhirnya saya buru-buru ke parkiran, mengambil motor dan langsung pulang ke kost. Beruntung, Bapak Kurir JNE itu bersedia menunggu dan jarak kostan saya dengan kampus juga dekat, hanya tujuh menit jika ditempuh dengan menggunakan sepeda motor.
Sampai kostan, saya melihat Bapak Kurir JNE ini sedang menunggu di depan pagar.
"Maaf ya Pak, harus nunggu" Saya pun menerima paketan yang diberikan Bapak Kurir.
"Iya mbak, nggak apa-apa, soalnya saya panggil-panggil (dari luar) nggak ada yang nyahut. Kayaknya kosong ya mbak?"
"Iya Pak, mungkin pada berangkat kuliah. "
Setelah Bapak Kurir itu pergi, saya masuk ke kostan untuk menaruh paketan tadi ke kamar. Saat akan memasuki kamar,  saya mendengar suara musik dari kamar Mei, penghuni kamar samping  kiri saya. Tidak lama, mbak Woro keluar dari kamarnya untuk ke kamar mandi. Dia melempar sedikit senyuman, saya pun membalasnya.
"Ternyata ada orang di kostan. Apa mereka nggak mau keluar untuk ambil paketan saya? Malas mungkin? Tidak peduli? Atau memang mereka tidak mendengar Bapak JNE ketika memanggil-manggil dari luar ya? Aaahhh..." Kata saya dalam hati, sambil berusaha untuk positif thinking.Â
Tapi positif thinking saya pun hilang ketika kejadian ini terulang beberapa kali. Saya rasa, mereka bukan tidak mendengar suara Bapak Kurir dari luar tapi memang tidak peduli dan hanya mengurus urusan sendiri. Meski agak kesal, saya mencoba untuk memaklumi mereka.
Suatu hari, saya menjadi panitia workshop di kampus. Yah, saya adalah mahasiswa yang cukup aktif dalam organisasi kampus. Waktu saya pun lebih banyak dihabiskan di kampus. Selain kuliah, saya harus rapat organisasi, jadi panitia seminar, dan kegiatan kampus lainnya.
Hari itu, banyak peserta workshop yang tidak hadir, beberapa nasi kotak yang disediakan untuk konsumsi pun tersisa. Ketua panitia menyuruh kami untuk membawa pulang nasi kotak itu dan setiap panitia pun mengambil satu-satu.
Tapi karena memang tersisa banyak, masih ada sekitar empat nasi kotak yang tersisa lagi setelah dibagikan ke semua karyawan kampus, petugas keamanan dan kebersihan. Akhirnya saya memutuskan untuk membawa empat nasi kotak yang masih tersisa itu.
Beberapa teman meledek saya karena membawa pulang nasi kotak lebih banyak dari yang lainnya,
"Asik... lumayan nih Tan, buat persediaan dua hari!" kata salah satu teman saya.
Saya tak membalas perkataannya, hanya tersenyum kecil sambil mencoba menahan malu membawa nasi kotak sebanyak itu (kalau kata orang Jawa "kemaruk" Hehe). Tapi, saya memang berniat untuk membagikan nasi kotak ini pada teman kost saya.
Saya pun mengetuk pintu kamar satu-satu. Mulai dari Salma, Mei, Mbak Woro, dan Bening, para penghuni lantai satu. Senangnya ketika mereka mau menerima nasi kotak yang saya bawa. Kami memakan nasi kotak ini bersama-sama di ruang tengah sembari ngobrol dan nonton TV.Â
Sungguh, ini pertama kalinya kami makan dan mengobrol bersama di ruang tengah sejak saya menempati kostan selama 3 minggu. Dan sejak itu pula, hubungan kami sebagai tetangga kamar menjadi lebih hangat.
Kami jadi sering kumpul di ruang tengah, ke pasar untuk belanja bahan makanan dan memasaknya bersama, hingga ke bioskop untuk nonton film, dan tentu saja saya tak lagi khawatir kalau ada paket datang ke kostan karena mereka yang akan meng-cover-nya. Saya merasa punya keluarga baru di perantauan.
Suatu malam, kami sedang makan di ruang tengah sambil nonton TV. Tiba-tiba Salma mengatakan ini pada saya:
"Mbak Intan, makasih ya. "
"Untuk? "
"Nasi kotak yang waktu itu. "
"Oalah... Iya Sal, sama-sama"
"Aku mau cerita mbak, sebenarnya waktu mbak kasih nasi kotak itu, aku lagi dalam kondisi nggak makan dari malam. Bapakku telat kirim waktu itu, uangku tinggal dua ribu di dompet, ehh... Mbak Intan tiba-tiba kasih nasi kotak. Bersyukur banget aku mbak. Makasih ya mbak."
Saya tertegun mendengar cerita Salma. Ternyata, sekotak nasi yang hampir terbuang bisa sangat bermanfaat untuk orang lain. Sejak saat itu pula, saya selalu berusaha untuk lebih peduli dengan orang-orang di sekitar saya.
Saya tidak bisa membayangkan jika saat itu saya tidak menahan malu saya untuk membawa sisa nasi kotak yang ada, secara tidak langsung saya telah membiarkan teman kost saya kelaparan di kamarnya. Ternyata, berbagi itu menyenangan. Saya bisa mendapatan kebahagiaan dengan melihat orang lain bahagia.
Kita tidak pernah tahu bagaimana hal yang kita anggap sepele menjadi sangat berharga bagi orang lain. Oleh sebab itu, memberi adalah hal yang penting kita lakukan pada orang-orang di sekitar. Menyantuni tidak harus dengan uang, kita bisa memberikan apa saja yang kita punya, entah itu tenaga, waktu, atau kebahagiaan. Berbagi apa saja yang bisa kita beri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H