“Kenaikan harga kedelai berpotensi mempengaruhi minat pengrajin untuk memproduksi tahu dan tempe sehingga berdampak pada kenaikan harga tahu dan tempe serta dapat mengganggu keberlangsungan usaha pengrajin tahu dan tempe. Rakornis ini merupakan bentuk respon cepat Pemerintah dalam mengambil kebijakan agar stabilitas harga dan ketersediaan kedelai terjaga,” tegas Deputi Musdhalifah dalam siaran pers.
Mendukung Pernyataan tersebut, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan menyampaikan bahwa Kementerian Perdagangan telah berkoordinasi dengan para importir untuk memastikan komitmen penyediaan bahan baku kedelai bagi pengrajin tahu dan tempe. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir dampak atas kenaikan harga kedelai yang dirasakan pada sekitar 150.000 UMKM tahu dan tempe yang sangat bergantung pada ketersediaan bahan baku kedelai.
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Pusat Distribusi dan Akses Pangan Kementerian Pertanian Risfaheri juga menegaskan bahwa perlu ada terobosan besar untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai lokal. Dalam rangka meningkatkan produksi kedelai lokal, Kementerian Pertanian telah melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman dengan GAKOPTINDO selaku offtaker dan perbankan untuk pelaksanaan program penanaman kedelai seluas 600.000 ha di 14 provinsi. Kegiatan penanaman akan mulai dilaksanakan pada bulan April 2022. Selain program tersebut, Kementerian Pertanian juga akan melaksanakan program bantuan Pemerintah untuk produksi kedelai seluas 52.000 ha.
Munculnya polemik kenaikan harga kedelai sehingga membuat para penjual tahu dan tempe meringis tentunya merupakan sebuah tamparan keras di kala pandemi. Diharapkan dengan adanya perumusan kebijakan baru, pemerintah mampus memberikan soluasi yang pasti megingat sebentar lagi masyarakat bersiap untuk menghadapi bulan puasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H