Mohon tunggu...
Intan Dewi Purwanti
Intan Dewi Purwanti Mohon Tunggu... -

Simple tapi pasten.... 😆😂

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Analisis Puisi "Gelas" Karya Kuntowijoyo

9 April 2016   09:27 Diperbarui: 9 April 2016   09:37 1338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

GELAS

Karya : Kuntowijoyo

Inilah yang kukerjakan. mengumpulkan gelas
 kembali. Sambil mengenangkan bahwa bibir
 lembut telah menyentuh tepinya. Kuhapus dengan
 jari pelan-pelan sebagai meraba yang halus,
 takut ia terkejut. Ah, jari-jari ku terlalu
 kasar rasanya. Pelan-pelan ku dekatkan ke
 bibir ku. Aneh! Gelas itu selalu menghilang.
 Kacanya melunak dan mengambur bersama bayang-
 bayang. Ia selalu menolakku.

 Kapankah kau perkenankan aku duduk di meja.
 Meninggalkan gelas lalu gadis penjaga mencium
 bekas gelas ku? Aku malu dengan pikiran ini
 sesungguhnya, tetapi biarlah sebenarnya
 hati ku tak sejelek ini. Engkau tahu, pasti.

 

MAKNA KEHIDUPAN PADA PUISI “GELAS” KARYA KUNTOWIJOYO

 

A.    PENDAHULUAN

Puisi adalah karya sastra yang dapat ditafsirkan secara denotatif atau pun konotatif. Puisi merupakan suatu karya sastra yang memiliki  makna yang tersirat dari ungkapan perasaan seorang penyair sehingga setiap kata atau kalimat tersebut secara tidak langsung mempunyai makna yang abstrak sehingga memberikan Imaji terhadap pembaca.

Dalam Puisi “Gelas” karya kuntowijoyo menceritakan makna sebuah kehidupan tentang kenyataan dalam kehidupan manusia yang hidupnya pesismis. Pengarang hendak menyindir orang-orang yang berperilaku pesimis, menganggap sesuatu sulit untuk dikerjakan tanpa berusaha terlebih dahulu. Sering kali, manusia  menduga-duga takdir dalam kehidupannya, apakah hidupnya akan sukses atau gagal? “Gelas” dapat diibaratkan sebuah kehidup manusia, ada sebuah pribahasa mengatakan “Manusia Ibarat Gelas Kosong” Gelas kosong disini dapat diidentikkan dengan selembar kertas putih. Sejak menghirup udara dunia, maka sejak saat itu kertas terisi dengan setiap catatan kehidupan, baik atau buruk., sedih atau bahagia, sakit ata sehat, sukses atau gagal. Tergantung pada skenario garis kehidupan masing-masing manusia tersebut.

 

B.     BIOGRAFI PENGARANG

Kuntowijoyo dilahirkan di Bantul, Yogyakarta, pada tanggal 18 September 1943. Ia dibesarkan di Ceper, Klaten, dalam lingkungan keluarga Jawa yang beragama Islam beraliran Muhammadiyah. Ia anak kedua dari sembilan bersaudara. Ia menikah tahun 1969 dengan Susilaningsih, lulusan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dari pernikahannya itu Kuntowijoyo mempunyai dua orang anak, Punang Amaripuja dan Alun Paradipta. Ia meninggal dunia pada tanggal 22 Februari 2005 dalam usia 62 tahun karena sakit. Kuntowiyo menyelesaikan SD dan madrasah tahun 1956 dan SMP tahun 1959, semuanya di Klaten. Ketertarikannya pada sastra mulai tampak saat SD. Ia sering mendengarkan siaran puisi dari radio Surakarta asuhan Mansur Samin dan Budiman S. Hartojo. Mentornya, M. Saribi Arifin dan M.Yusmanam, mendorongnya untuk menulis sastra. Di SMA, ia banyak membaca karya sastra, baik dari penulis Indonesia maupun dari luar negeri, seperti Karl May, Charles Dickens, dan Anton Chekov. Dengan bekal itu, pada tahun 1964 ia menulis novel pertamanya, Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari, yang kemudian dimuat sebagai cerita bersambung di harian Djihad tahun 1966. Selain itu, ia juga menulis cerpen dan drama pendek untuk klubnya. Namun, ia baru memublikasikan karyanya itu pada pada tahun 1967 di majalah Horison. Setelah menyelesaikan SMA di Surakarta tahun 1962, Kuntowijoyo melanjutkan pendidikannya di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, dan selesai tahun 1969. Kemudian, ia diangkat sebagai pengajar di almamaternya. Di bidang kebudayaan, Kuntowijoyo mendirikan Leksi (Lembaga Kebudayan dan Seniman Islam) bersama kawan-kawannya. Ia menjadi sekretaris tahun 1963—1969. Dari tahun 1969—1971 Kuntowijoyo aktif dalam Kelompok Studi Mantika bersama temannya, seperti M. Dawam Raharjo, Arifin C. Noer, Abdul Hadi W.M., Amri Yahya, Sju’bah Asa, Chairul Umam, dan Ikranegara. Sebagai sarjana ilmu sejarah, pendidikan formalnya tuntas setelah meraih gelar doktor ilmu sejarah dari Columbia University, New York, Amerika Serikat, tahun 1980. Sebelumnya, ia menyelesaikan studi S-2 di The University of Connecticut, Amerika Serikat, tahun 1974. Disertasinya di Universitas Columbia, Social Change in an Agrarian Society: Madura1950—1940, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Selain menulis tentang sejarah Madura, ia juga menulis beberapa risalah sejarah dalam bentuk makalah dan paper yang tersebar. Salah satu karya terakhir di bidang sejarah ialah Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900—1915 (2004). Namun, bukan dengan ilmu sejarah saja ia menjangkau publik secara luas. Sejak muda hingga akhir hayatnya, Kuntowijoyo tekun berkarya di bidang sastra: puisi, novel, cerita pendek, dan drama. Atas ketekunannya itu, ia pun banyak mendapat hadiah dan penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri. Berikut ini adalah karya, hadiah, dan penghargaan Kuntowijoyo.

ü  Kumpulan puisi

1.      Suluk Awang-Uwung (1975)

2.      Isyarat (1976)

3.      Daun Makrifat, Makrifat Daun (1995)

ü  Kumpulan cerpen

1.      Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992)

2.      Antologi cerpen pilihan Kompas: “Laki-Laki yang Kawin dengan Peri” (1995), “Pistol Perdamaian” (1996), dan Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan” (1997)

3.       Hampir Sebuah Subversi (1999)       

ü  Novel

1.      Kereta Api yang Berangkat Pagi Hari (1966)

2.      Khotbah di Atas Bukit (1976)

3.      Pasar (1994)

4.      Impian Amerika (1998)

5.      Mantra Pejinak Ular (2000)

ü  Naskah drama

1.      “Rumput-Rumput Danau Bento” (1968)

2.      :Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas” (1972)

3.      “Topeng Kayu” (1973)

ü  E. Karya nonfiksi

1.      Pengantar Ilmu Sejarah (1995)

2.      Metodologi Sejarah (1994)

3.      Demokrasi & Budaya Birokrasi (1994)

4.      Radikalisasi Petani (1993)

5.      Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1991)

6.      Dinamika Sejarah Umat Islam (1997)

7.      Identitas Politik Umat Islam (1997)

8.      Esai Agama, Budaya, dan Politik (2000)

9.      Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900—1915 (2004)

ü  Hadiah

1.      Hadiah Harapan dari Pembina Teater Nasional Indonesia untuk naskah drama “Rumput-Rumput Danau Bento” (1968)

2.      Hadiah Pertama Sayembara Cerpen Majalah Sastra untuk cerpen “Dilarang Mencintai Bunga-Bunga” (1968)

3.      Hadiah Sayembara Penulisan Lakon dari Dewan Kesenian Jakarta untuk naskah drama “Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda, dan Cartas” (1972)

4.      Hadiah Panitia Hari Buku untuk novel Pasar (1972)

5.      Hadiah Penulisan Lakon dari Dewan Kesenian Jakarta untuk naskah drama “Topeng Kayu” (1973)

ü  Penghargaan

1.      Penghargaan Sastra Indonesia dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (1986)

2.      Penghargaan Penulisan Sastra dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa untuk kumpulan cerpen Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1994)

3.      Penghargaan Kebudayaan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) (1995)

4.      Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas untuk cerpen “Laki-Laki yang Kawin dengan Peri” (1995)

5.      Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas untuk cerpen “Pistol Perdamaian” (1996)

6.      Penghargaan Cerpen Terbaik Kompas untuk cerpen “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan” (1997)

7.      Penghargaan dari Asean Award on Culture (1977)

8.      Penghargaan Satya Lencana Kebudayaan Republik Indonesia (1997)

9.      Penghargan dari Penerbit Mizan Award (1998)

10.  Penghargaan Kalyanakretya Utama untuk Teknologi Sastra dari Menristek (1999)

11.  Penghargaan SEA Write Award dari Kerajaan Thailand (1999)

12.  Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa (2005)

 

C.    ANALISIS

1.      Unsur Fisik Dan Unsur Batin

Puisi karya kuntowijoyo yang berjudul “Gelas” memiliki tipografi yang terdiri dari dua bait, pada bait pertama terdiri dari sembilan larik dan baik ke dua terdiri dari lima larik. Keseluruhan lariknya membentuk sebuah bayangan gelas, hal ini dapat dilihat pada setiap ujung larik pada puisi tersebut dibuat seolah tidak rata.  Pada puisi “gelas” juga terdapat gaya bahasa seperti ironi “hati ku tak sejelek ini. Engkau tahu, pasti.” Maksud dari larik tersebut bertentangan dengan penjelasan pada larik dan bait sebelumnya yang menggambarkan bahwa “Aku” adalah seorang yang pesimis yang berprasangka buruk terhadap suatu hal, tetapi larik itu menyatakan bahwa “hati ku tak sejelek ini. Engkau tahu, pasti.”. jadi Ironi tersebut yaitu gaya bahasa yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud untuk mengolok-olok orang-orang yang menjalanin kehidupannya dengan pesimis. Pengimajinasian puisinya dapat dilihat dari lariknya yang seperti “Kacanya melunak dan mengambur bersama bayang- bayang. Ia selalu menolakku.” Larik tersebut memiliki daya imajinasi seolah-olah kaca gelasnya terlihat melunak dan menghambur bersama bayang-bayang. Puisi gelas ini cukup sulit saya mengerti karna kata-katanya yang memiliki banyak makna, yang memiliki bahasa figuratif seperti “Kapankah kau perkenankan aku duduk di meja. ... hati ku tak sejelek ini. Engkau tahu, pasti.” Maksud dari kata-kata tersebut bisa bermakna banyak tergantung dari setiap pembacanya. Kalau menururt saya mungkin makna dari larik tersebut bukan makna sebenarnya tetapi banyak makna yg tersirat dari kata-katanya tersebut.

Puisi tersebut memiliki citraan penghlihatan yang terlihat pada larik sebagai berikut:

“bibir ku. Aneh! Gelas itu selalu menghilang.

Kacanya melunak dan mengambur bersama bayang-

bayang. Ia selalu menolakku.”

Selain itu ada citraan perabaan yaitu terlihat pada larik puisi sebagai berikut:

“lembut telah menyentuh tepinya. Kuhapus dengan

jari pelan-pelan sebagai meraba yang halus,

takut ia terkejut. Ah, jari-jari ku terlalu

kasar rasanya. Pelan-pelan ku dekatkan ke”

Puisi “Gelas” ini merupakan jenis puisi eligi yang bertemakan kesengsaraan hidup, terlihat pada bait pertama pengarang seolah bercerita tentang dirinya yang akan melakukan sesuatu tetapi sebelum “aku” melakukan pekerjaan itu, “aku”sudah membayangkan akan ketidak bershasilannya dalam mengerjakan pekerjaan itu, sehingga menggambarkan keputusasaan seseorang yang selalu berprasangka buruk tidak yakin dengan dirinya, merasa dirinya rendah tidak bisa berbuat apa-apa, akan tetapi pada bait ke dua dijelaskan bahwa apa yang ”aku” bayangkan tidak sepenuhnya terjadi, bahkan seolah apa yang dipikirkan bertolak belakang dari kenyataanya dan akhirnya ”aku” pun malu terhadap apa yang ia pikirkan atau apa yang dibayangkanya. Perasaannya pun pasrah akan keadaannya dan pengarang juga menjadi “aku” ini memberikan nada atau sikap seolah-olahmenyindir orang-orang yang berjiwa pesimis. Dengan mencermati puisi “Gelas” ini saya dapat mengambil amanat yaitu bahwa kita sebagai manusia janganlah memiliki sifat pesimis ketika akan mengerjakan sesuatu yang kita rencana yang kita harapkan teruslah berusaha sampai berhasil, jangan menyerah sebelum kita berjuang karena kehidupan itu harus kita perjuangkan walau sesulit apapun. Sayapun ingat dengan kata-kata bijak ini “Selalu ada harapan bagi mereka yang sering berdo’a dan selalu ada jalan bagi mereka yang sering berusaha”. Jadi ketika akan mengerjakan sesuatu cobalah untuk berfikir positif dan optimis.

 

2.      Sitem Tanda (Semiotika)

Pada dasarnya dalam puisi “Gelas” ini antara larik dengan kalimat didalam puisinya sengaja tidak disusun sama atau kalimat dalam puisi tersebut tidak di bangun membentuk larik, karena hal ini dimungkinkan agar bangunan pada tanpilan fisik tersebut dibuat menyerupai icon bayangan sebuah gelas. Adapun pada puisi ini pada bait pertama merupakan sebuah ungkapan hati ”aku” dengan cara bercerita. Lalu pada bait kedua dalam puisi tersebut terdapat sebuah dialog percakapan antara ”aku” dan gadis penjaga dan gadis penjaga pun merespondnya dengan sebuah tindakan yaitu mencium bekas gelas ”aku” atau pada kutipan ” Meninggalkan gelas, lalu gadis penjaga mencium bekas gelas ku?”

Di dalam puisi tersebut pengarang hendak menceritakan sesuatu dengan mengilustraasikan apa yang ada didalam pikiranya kedalam puisi tersebut yang mengandung sebuah pesan moral bagi para pembaca. Gambarn-gambaran yang ”aku” ilustarsikan sebenarnya itu hanyalah sebuah bayangan harapan dari keinginan si pengarang. Dengan kecermatan dan ketelitian yang ”aku” lakukan untuk mencapai keinginanya akan tetapi semua itu kosong atau sia-sia karena setiap usaha yang ia lakukan selalu tidak membuahkan sebuah keberhasilan dari keinginanya. adapun dalam puisi tersebut keinginannya untuk menghapus sebuah bekas bibir yang terdapat pada gelas tersebut ”Kuhapus dengan jari pelan-pelan sebagai meraba yang halus, takut ia terkejut.” dan ”Pelan-pelan ku dekatkan ke bibirku”, ”Aneh! Gelas itu selalu menghilang”. Akan tetapi, itu semua hanyalah sebuah perkiraan atau bayangan dari keinginan ”aku”, dan itu semua sungguh diluar bayangan ”aku” karena apa yang ”aku” pikirkan tidak sesuai dengan kenyatanya bahakan dia memperoleh sesuatu yang sangat berharga dari apa yang ”aku” pikirkan.

Dalam puisi ini terdapat berbagai macam isotopi, Isotopi adalah suatu bagian dalam pemaknaan yang menunjukan sebuah pesan adapun untuk dipahami sebagai suatu perlambangan yang utuh. adapun isotopi tersebut yakni Isotopi Alam, Isotopi Manusia, Isotopi Perasaan , Isotopi waktu, Isotopi Penghubung, Isotopi Tempat.

ü  Isotopi Alam : Bayangan-bayangan.

ü  Isotopi Manusia : Kukerjakan, mengumpulkan, mengenangkan, bibir lembut, menyentuh, kuhapus, jari pelan-pelan, meraba yang halus, Ia terkejut, jari-jariku, kudekatkan, meninggalkan, Gadis penjaga, mencium, aku, malu, pikiran ini, hatiku.

ü  Isotopi Perasaan : Meraba yang halus, terkejut.

ü  Isotopi waktu : Kembali, selalu, kapan, lalu.

ü  Isotopi Penghubung :Yang, sambil, bahwa, dengan, sebagai, terlalu, selalu, dan, sesungguhnya, tetapi, biarlah, sebenarnya.

ü  Isotopi Tempat : Gelas, tepinya, kacanya, duduk, dimejanya, bekas gelas.

 

3.      Intertekstualitas

Puisi “Gelas” karya kuntowijoyo ini cukup sulit saya pahami, saya telah membacanya beberapakali dan saya mencoba mengaitkan dengan sebuah analogi sederhana namun kaya makna mengenai hubungan gelas dengan sebuah kehidupan yaitu “Jadilah Gelas Kosong”. Gelas mempunyai bagian yang kosong sehingga bisa diisi dengan air. Bila gelas yang sudah penuh air, diisi air lagi, tentunya air akan tumpah keluar. Orang yang menganggap dirinya paling benar dan merasa paling hebat/pandai (sudah penuh), biasanya tidak bisa menerima saran dan kritik dari orang lain. Dia juga tidak terbuka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi baru (tidak fleksibel), akibatnya ia sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, juga sulit untuk maju dan berkembang. Sebaliknya, orang yang rendah hati ibarat mengisi air ke dalam gelas, tetapi tidak penuh-penuh. Air berapa banyak pun bisa terus masuk ke dalam gelas. Begitulah orang yang rendah hati, berapa banyak pun pengetahuan bisa dia terima, dan dia tidak menjadi sombong karenanya. Jadilah seorang yang kritis namun jangan pesimis. Setelah menerima apa yang ditawarkan, segeralah latih akal untuk berfikir dan menggali maknanya. Tarik semua pembelajaran dan hikmah. Jangan pula menjadi orang yang penuh prasangka buruk terhadap sesuatu hal yang belum terjadi, dan jangan berputus asa terhadap suatu kegagalan.  Ketika harapan kita kedepan sangatlah tinggi tetapi tidak seimbang dengan usaha yang kita lakukan kita akan merasakan sakit ketika jatuh. Salah satu cara untuk mengelola’ pengharapan kita, jadilah  gelas kosong dan kita bisa mengisi penuh gelas itu, jangan menjadi gelas yang hanya setengah kosong. kita dapat merubah takdir kita dengan tangan kita sendiri.

Dalam Agama islam juga terdapat larangan berputus asa dari Rahmat Allah dan pesimis terhadap Karunia-Nya.

Allah SWT berfirman (artinya), "Mereka menjawab, 'Kami menyampaikan berita gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa.' Ibrahim berkata, 'Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabb-Nya, kecuali orang-orang yang sesat'." (Al-Hijr: 55-56).

Allah SWT berfirman, "Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir." (Yusuf: 87).

Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Abbas r.a., bahwa ada seorang lelaki yang berkata: "Wahai Rasulullah, apa itu dosa besar?" Rasulullah saw. menjawab (artinya), 'Syirik kepada Allah, pesimis terhadap karunia Allah, dan berputus asa dari rahmat Allah'." (Hasan, HR Al-Bazzar [106/lihat Kasyful Atsaar], Thabrani dalam Al-Kabiir [8783, 8784 dan 8785], dan 'Abdurrazaq [19701]).

ü  Kandungan Bab:

1.      Rahmah (kasih sayang) merupakan salah satu dari sifat Allah berdasarkan ketetapan Al-Qur'an dan As-Sunnah, sifat kasih sayang yang layak bagi Allah sebagaimana sifat-sifat Allah lainnya.

2.      Pengaruh sifat ini dapat terlihat jelas di alam semesta, khususnya pada makhluk hidup. Nikmat dan karunia-Nya merupakan bukti keberadaan rahmat Allah yang Mahasempurna dan Mahaluas.

3.      Rahmat Allah meliputi segala sesuatu dan menaungi semua makhluk. Tidak ada satu pun di alam semesta ini kecuali mendapat siraman rahmat Allah SWT. Allah 'Azza wa jalla berfirman tentang para Malaikat pengangkat 'Arsy dan Malaikat-malaikat yang berada di sekelilingnya, "Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan-Mu dan peliharalah mereka dari siksaan Neraka yang menyala-menyala." (Al-Mukmin: 7).
 Allah SWT berfirman, "Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami." (Al-A'raaf: 156).

4.      Oleh sebab itu, pintu rahmat Allah terbuka bagi orang-orang yang telah menganiaya diri mereka sendiri untuk bertaubat. Allah SWT berfirman, "Katakanlah, 'Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang'." (Az-Zumaar: 53).
 Dalam hadits Abu Hurairah r.a. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda, "Sekiranya hamba Mukmin tahu siksa yang Allah siapkan di sisi-Nya, tentu tidak ada seorang pun yang berharap (optimis) bisa masuk Surga. Sekiranya orang kafir tahu rahmat yang Allah siapkan di sisi-Nya, tentu tidak seorang pun yang berputus asa (pesimis) masuk Surga-Nya."

5.      Oleh sebab itu, berputus asa dari rahmat Allah SWT merupakan sifat orang-orang sesat dan pesimis terhadap karunia-Nya merupakan sifat orang-orang kafir. Karena mereka tidak mengetahui keluasan rahmat Rabbul 'Aalamiin. Siapa saja yang jatuh dalam perbuatan terlarang ini berarti ia telah memiliki sifat yang sama dengan mereka, laa haula wa laa quwwata illaa billaah.

 

D.    SIMPULAN

Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa Puisi ”Gelas” karya Kuntowijoyo menceritakan tentang dirinya sekaligus menyimpan pesan yang hendak disampaikan pada pembaca lewat puisinya tersebut. Dalam Analisis puisi ini saya mengkaji dengan mengananalisis Unsur Fisik dan Unsur Batin, pendekatan Semiotika, dan intertekstualitas.

 

E.     DAFTAR PUSTAKA

1, 2, 3, 4, 5   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun