Pentingnya memahami konsep dan dampak cyberbullying sangat relevan mengingat meningkatnya penggunaan media sosial, yang telah merubah cara orang berkomunikasi. Menurut Rossiana et al. (2024), penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menumbuhkan kecenderungan untuk melakukan tindakan kekerasan digital, seperti yang digambarkan dalam film Budi Pekerti. Di sini, kita dapat melihat bagaimana dunia maya menjadi ruang yang tidak hanya mendukung, tetapi juga memicu perundungan yang bersifat emosional dan psikologis, yang seringkali disertai dengan penyebaran informasi palsu.
Sebagai sebuah kritik sosial terhadap fenomena cancel culture, Budi Pekerti menyajikan cerita tentang bagaimana persepsi publik dapat dibentuk dengan cepat dan seringkali tanpa dasar yang kuat. Fenomena ini tidak hanya merusak reputasi individu yang menjadi sasaran, tetapi juga memperlihatkan kelemahan sistem sosial kita dalam memberikan ruang untuk klarifikasi atau pembelaan. Dalam film ini, Bu Prani menjadi simbol dari banyaknya individu yang menjadi korban dalam lingkaran cancel culture, di mana kesalahan atau bahkan kesalahpahaman bisa dengan cepat dijadikan alasan untuk menghancurkan reputasi seseorang tanpa pertanggungjawaban yang memadai (Nurjunita & Dwivayani, 2024).
Dalam konteks ini, cancel culture dan cyberbullying seringkali berinteraksi, saling memperburuk keadaan, dan menciptakan lingkaran negatif di masyarakat. Hal ini sesuai dengan analisis yang dilakukan oleh Novianti (2024), yang mengungkapkan bahwa peran media sosial dalam membentuk opini publik sangat signifikan, namun seringkali juga menyebarkan informasi yang merugikan tanpa verifikasi yang jelas. Oleh karena itu, film ini juga mengajak penonton untuk lebih kritis terhadap apa yang mereka konsumsi di dunia maya dan menyadarkan mereka akan pentingnya verifikasi informasi sebelum membentuk opini atau menyebarkannya kepada orang lain.
Secara visual, Budi Pekerti juga menyajikan simbolisme yang mempertegas tema-tema tersebut. Penggunaan close-up yang intens pada wajah Bu Prani, yang semakin menunjukkan ekspresi ketakutan, keputusasaan, dan isolasi, menciptakan atmosfer yang sangat menegangkan. Hal ini juga menjadi simbol dari pengasingan sosial yang sering dialami oleh korban cyberbullying, di mana mereka merasa terisolasi meskipun hidup dalam dunia yang sangat terhubung melalui teknologi. Menurut Djalins et al. (2024), visualisasi yang kuat ini sangat membantu penonton untuk merasakan langsung pengalaman psikologis dari karakter, sekaligus memberikan dampak emosional yang mendalam.
Selain itu, analisis naratif yang diterapkan dalam film ini mengajak kita untuk lebih memahami hubungan antara individu dan masyarakat. Dengan menganalisis karakter Bu Prani melalui lensa naratif, Budi Pekerti menawarkan sebuah komentar yang tajam terhadap cara kita memperlakukan orang lain dalam dunia digital. Dalam hal ini, Bu Prani tidak hanya berperan sebagai korban, tetapi juga sebagai simbol dari banyak individu yang, meskipun berupaya untuk membantu orang lain, tetap terjebak dalam sistem yang lebih besar yang tidak memperlihatkan belas kasihan (Amelia, 2024; Rossiana et al., 2024).
Seiring dengan perkembangan digitalisasi, literasi digital menjadi aspek yang semakin penting untuk dipahami oleh masyarakat. Budi Pekerti menyampaikan pesan kuat mengenai perlunya empati dan kewaspadaan dalam berinteraksi di dunia maya. Sebagai masyarakat yang semakin terhubung secara digital, kita dituntut untuk memiliki keterampilan dalam memilah dan menyaring informasi, serta memahami dampak sosial dari setiap tindakan yang kita ambil di dunia maya (Noviant, 2024). Film ini memberikan perspektif penting mengenai cara kita harus lebih berhati-hati dan bertanggung jawab dalam menggunakan media sosial, agar tidak terjerumus ke dalam dinamika yang merugikan seperti cyberbullying atau cancel culture.
Secara keseluruhan, Budi Pekerti menawarkan banyak lapisan untuk dianalisis, mulai dari aspek psikologi hingga kritik sosial. Melalui film ini, Wregas Bhanuteja tidak hanya mengajak penonton untuk memahami dampak negatif dari cyberbullying dan cancel culture, tetapi juga mengingatkan kita tentang betapa rapuhnya reputasi di dunia maya. Film ini mengingatkan kita akan pentingnya berinteraksi dengan lebih bijaksana di dunia digital dan memahami betul bagaimana kata-kata dan tindakan kita dapat mempengaruhi orang lain secara psikologis dan sosial.
Film Budi Pekerti adalah karya yang penting untuk dipahami dalam konteks sosial kita saat ini. Dengan memanfaatkan kekuatan visual dan naratif, film ini memberikan wawasan tentang bagaimana fenomena digital, seperti cancel culture dan cyberbullying, dapat merusak kehidupan individu. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk lebih memahami dampak dari teknologi dan meningkatkan literasi digital agar bisa menghindari konsekuensi buruk dari perundungan dunia maya. Film ini juga menjadi pengingat akan pentingnya empati dan kewaspadaan dalam berinteraksi di dunia maya yang semakin terhubung.
Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis wacana kritis untuk mengkaji film Budi Pekerti karya Wregas Bhanuteja. Analisis wacana kritis memungkinkan peneliti untuk menelaah teks film secara mendalam, memperhatikan bagaimana berbagai elemen dalam film, seperti dialog, simbolisme visual, dan struktur naratif, dapat merefleksikan dan membentuk realitas sosial tertentu, terutama terkait dengan isu cyberbullying dan cancel culture. Dalam hal ini, pendekatan analisis semiotika dan naratif juga digunakan untuk mengungkap makna yang tersembunyi di balik simbolisme visual dan alur cerita yang ditampilkan dalam film. Metode ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang mengkaji dampak media terhadap persepsi publik, seperti yang dilakukan oleh Aryani et al. (2024) dan Novianti (2024).
Dalam pelaksanaan analisis, peneliti akan mengidentifikasi elemen-elemen utama dalam film, seperti karakter Bu Prani, yang menjadi pusat dari konflik dalam cerita. Peneliti juga akan menganalisis penggunaan simbolisme visual yang mengiringi perjalanan karakter ini, seperti penggunaan close-up yang intens pada ekspresi wajah Bu Prani untuk menggambarkan perasaan terisolasi dan tertekan. Selanjutnya, film ini akan dianalisis melalui lensa cancel culture, dengan melihat bagaimana narasi yang terbentuk di media sosial dapat merusak reputasi seseorang tanpa adanya ruang untuk klarifikasi. Analisis ini akan dilakukan dengan memanfaatkan teori-teori dari Tzvetan Todorov dalam analisis naratif dan Roland Barthes dalam analisis semiotika, sebagaimana telah diterapkan dalam penelitian oleh Amelia (2024) dan Nurjunita & Dwivayani (2024).
Pembahasan: