Abstract
Wregas Bhanuteja's Budi Pekerti is a compelling exploration of the devastating consequences of cyberbullying in contemporary Indonesia. Through the lens of Bu Prani, a guidance counselor targeted by a vicious online smear campaign, the film exposes the fragility of reputation in the digital age. The film's intense close-ups and symbolic imagery create a sense of claustrophobia and isolation that mirrors Bu Prani's experience. By examining the role of social media in shaping public opinion and perpetuating harmful narratives, Budi Pekerti offers a timely critique of cancel culture and the erosion of empathy in online discourse. Ultimately, the film serves as a poignant reminder of the importance of digital literacy and the need for compassion in an increasingly interconnected world.
Keywords: Budi Pekerti, Indonesian film, Cyberbullying, Social Media, Psychology, Digital violence, Morality
Abstrak
Film Budi Pekerti karya Wregas Bhanuteja merupakan sebuah potret menyayat hati tentang dampak cyberbullying terhadap individu dan masyarakat. Melalui kisah Bu Prani, seorang guru BK yang menjadi sasaran serangan dunia maya, film ini mengungkap bagaimana kebenaran dapat dengan mudah dimanipulasi di era digital. Dengan gaya visual yang kuat dan performa akting yang memukau, film ini berhasil menyadarkan penonton akan pentingnya empati dan literasi digital. Selain itu, Budi Pekerti juga menjadi sebuah kritik sosial yang relevan terhadap fenomena cancel culture dan polarisasi yang terjadi di masyarakat.
Kata kunci: Budi Pekerti, Film Indonesia, Cyberbullying, Media Sosial, Psikologi, Kekerasan Digital, Moral
Â
 Â
PendahuluanÂ
Di era digital saat ini, perkembangan media sosial telah membawa dampak besar terhadap cara kita berinteraksi dan membentuk opini. Salah satu fenomena yang muncul bersamaan dengan perkembangan ini adalah cyberbullying, yang telah mengubah lanskap komunikasi dan hubungan sosial, khususnya di dunia maya. Tindak tutur pelaku cyberbullying yang tidak sesuai lah yang menyebabkan cyberbullying, Ekspresi  merupakan  tindak  tutur  yang  dimaksudkan  untuk menyatakan  atau  mengungkapkan  sikap  psikologis  penutur  terhadap  situasi  yang  berkaitan dengan tuturannya. Misalnya mengeluh, memuji, berterima kasih, dan mengkritik. Tindak tutur ekspresif mempunyai kelebihan tersendiri. Pertama dengan melalui ekspresi seseorang dapat memahami apakah maksud pembicara sesuai dengan apa yang dia katakan, karena aspek-aspek tertentu  dari  emosi  manusia  sering  kali  dapat  menyembunyikan  makna-makna  yang tersembunyi. Oleh  karena  itu,  diperlukan  pemahaman  yang  lebih  baik  untuk  memahami  apa yang ingin disampaikan oleh pembicara (Rossi  Galih Kesuma, 2024) , yang  Budi Pekerti, film yang disutradarai oleh Wregas Bhanuteja, mengangkat isu penting ini melalui kisah Bu Prani, seorang guru Bimbingan Konseling (BK) yang menjadi korban dari serangan dunia maya. Film ini bukan hanya mengisahkan dampak dari tindakan cyberbullying, tetapi juga memberikan kritik sosial terhadap cancel culture, yang semakin berkembang di masyarakat digital saat ini (Putri & Jannah, 2023; Aryani et al., 2024).
Film ini menggambarkan Bu Prani sebagai seorang perempuan yang tidak hanya berperan sebagai pendidik, tetapi juga sebagai individu yang terjebak dalam situasi sosial yang penuh dengan konflik, manipulasi informasi, dan ketidakadilan. Budi Pekerti secara efektif memanfaatkan medium film untuk menyampaikan pesan-pesan penting terkait dengan moralitas, tanggung jawab sosial, dan dampak negatif yang ditimbulkan oleh kekerasan digital. Dalam hal ini, film tersebut menekankan pentingnya literasi digital yang seharusnya dimiliki oleh setiap individu di era ini (Amelia, 2024; Djalins et al., 2024).