Mohon tunggu...
Intan Arya
Intan Arya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Undergraduate Student at Ganesha University of Education

A hardworking person, self-motivated, and enthusiastic undergraduate student in Elementary School Teacher Education Degree at Ganesha University of Education. A fast learned, good team player with good interpersonal skills. Looking for an opportunity to apply my knowledge learn more skills, gain experience, enhance my skill and make a positive contribution.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Penyelarasan RKUHP di Indonesia terhadap Hak Asasi Manusia

4 Desember 2022   10:50 Diperbarui: 4 Desember 2022   11:51 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
RKUHP (sumber ilustrasi: Kongres Advokat Indonesia)

Tahukah anda, jika hukum zaman Belanda yang bahkan sudah ada keberadaannya sejak lebih dari 100 tahun lalu menjadi sumber dari pelaksanaan aturan hukum pidana di negara Indonesia? Pada 01 Januari 1918, Pemerintah Belanda mulai memberlakukan hukum pidana tersebut atau lebih kita kenal dengan Wetboek van Strafrecht voor Netherland Indie  Stb No.732 Tahun 1915, yang bahkan hingga sekarang belum mempunyai terjemahan secara resmi dalam Bahasa Indonesia sejak mulai ditetapkan berlaku oleh Undang-Undang No.1 Tahun 1946. Saat ini di Indonesia, hukum tersebut lebih dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai Peraturan Hukum Pidana Nasional.

Pada tahun 1958, Pemerintah Indonesia sudah mulai berupaya untuk melakukan pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sebagai bentuk upaya dari Pemerintah Indonesia maka berdirilah sebuah Lembaga bernama Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) pada tahun 1958 yang bertujuan untuk membahas mengenai segala kepentingan dan menamping segala saran dari masyarakat Indonesia yang berkaitan dengan pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Wacana mengenai revisi KUHP pertama kali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersampaikan ke DPR pada tahun 2012. Tiga tahun kemudian, Presiden Joko Widodo menerbitkan Surat Presiden No. R-35/Pres/06/2015 setelah kepada DPR menyampaikan Kembali rencana revisi pada 5 Juni 2015 agar ditindaklanjuti selama lebih dari empat tahun dengan pembahasan intensif.

Dalam pembahasan Tingkat I pada 18 September 2019, Pemerintah Indonesia dan DPR RI telah menyepakati RKUHP untuk nantinya segera menjadi topik pembahasan Tingkat 2, yaitu pada saat pengambilan keputusan di Rapat Paripurna. Pada tanggal 23 sampai 30 September 2019, masyarakat Indonesia turun ke jalan untuk aksi karena beberapa Substansi RKUHP yang dianggap memperlihatkan ketidakberpihakannya kepada masyarakat. Aksi tersebut berlangsung di berbagai kota besar yang tersebar di Seluruh Indonesia seperti Jakarta, Denpasar, Bandung, Banda Aceh, dan lain sebagainya. Pada tanggal 26 September 2019, Pemerintah Indonesia akhirnya menyepakati bersama untuk menunda pembahasan RKUHP pada Pembahasan Tingkat 2 mendatang.

Sempat ramai ditolak pada tahun 2019, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akhir-akhir ini kembali menjadi perbincangan publik. Hal ini terjadi dikarenakan pada Juli 2022, Pemerintah Indonesia menargetkan agar mempercepat pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sempat terhenti ditrencanakan akan dilanjutkan Kembali oleh DPR dan Pemerintah Indonesia. Akibat dari tertundanya  Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) karena semakin gencarnya penolakan dari masyarakat Indonesia, hingga saat ini sudah disetujui di tingkat pertama yang kemudian siap untuk disahkan pada rapat paripurna.

Pada tahun 2019, Pemerintah Indonesia sesungguhnya sudah melaksanakan sosialisasi kepada masyarakat Indonesia, tetapi hingga saat ini  partisipasi aktif dan bermakna yang disampaikan oleh masyarakat Indonesia sebagai bahan pertimbangan atas masukan substantif terkait dengan proses revisi draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) belum juga mendapatkan respon dari Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia belum memberikan perkembangan terkini dari draf RKUHP dan pengesahan yang dilakukan pada Juli 2022 kemarin. Masyarakat Indonesia menilai jika pengesahan tersebut terkesan terburu-buru dan tidak efektif.

Walaupun sudah banyak sekali desakan yang datang dari masyarakat Indonesia mengenai draf terbaru dari RKUHP, namun sampai sekarang ini Pemerintah Indonesia tetap kekeh untuk tidak terbuka terhadap media dan publik. Padahal jika ditelisik secara lebih mendalam, Hak Asasi Manusia kita sebagai masyarakat Indonesia dapat berdampak akibat dari transparansi revisi RKUHP yang bahkan sampai detik ini tidak diperlihatkan kepada publik. Apalagi dengan adanya beberapa pasal yang tertuang di dalam RKUHP dinilai dapat mengancam kebebasan sipil bagi masyarakat Indonesia, sehingga pada akhri-akhir ini mulai semakin memperlihatkan ketidakberpihaknya kepada masyarakat Indonesia dengan timbulnya kriminalisasi di lingkungan sekitar terhadap aktivis, masyarakat umum yang berani menyuarakan pendapatnya dan pembela Hak Asasi Manusia.

Masyarakat Indonesia mengetahui bahwa ada beberapa pasal tertuang dalam RKUHP yang mempunyai potensi untuk menjadi pasal karet yang nantinya ditakutkan dapat mengancam kebebasan ruang sipil, diantaranya adalah pertama, dapat melanggar hak hidup. Sebagai salah satu opsi hukuman pidana yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia, RKUHP masih memberikan pilihan hukuman mati bagi masyarakat Indonesia yang dinilai mempunyai kesalahan melampaui batasan hukum yang ada di Indonesia. Memberikan hukuman mati sebagai opsi hukuman pidana sebaiknya dihapus secara total karena dinilai merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia untuk hidup yang telah lama dilindungi oleh hukum internasional.

Kedua, RKUHP dianggap dapat membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat, kebebasan sipill, dan kebebasan pers dengan adanya beberapa pasal karet, antara lain Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 218 dan 219), Pasal penghinaan terhadap pemerintah yang sah (Pasal 240 dan Pasal 241), Pasal tentang penyiaran berita bohong (Pasal 262), Pasal tentang penyelenggaran aksi tanpa pemberitahuan lebih dahulu (Pasal 273), Pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara (Pasal 353 dan 354), Pasal tentang pencemaran nama baik (Pasal 439), Pasal tentang pencemaran orang mati (Pasal 446). Beberapa pasal yang tertuang dalam RKUHP tersebut mempunyai potensi retan untuk disalahgunakan sebagai upaya untuk merepresikan pihak yang kritis terhadap pemerintah dan membatasi hak yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia untuk berpendapat.

Beberapa pasal tersebut dianggap kurang sejalan dengan hak atas kebebasan berekspesi serta berpendapat yang telah dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat" serta pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. Ketiga, dapat melanggar hak privasi. Pasal 417 dan 419 yang membahas mengenai perzinaan dan kohabitasi dinilai oleh masyarakat Indonesia dapat melanggar hak atas privasi pribadi yang secar ajelas telah dilindungi oleh hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.

Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengatur dengan total 1.251 perbuatan pidana, jika lebih ditelisik kembali secara mendalam ada sekitar 1.198 yang diancam dengan pidana penjara. Jumlah tersebut dinilai berpotensi akan membuat penjara menumpuk. Beberapa pasal dan ketentuan yang tertuang di dalam RKUHP akan membuka peluang lebih besar dari masyarakat yang menggunakan hak atas kebebasan berpendapat sebagai ancaman untuk dipenjara dan dipidana. Apalagi jika Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) disahkan oleh Pemerintah Indonesia akan berakibat pada kelompok minoritas dan berpotensi untuk meningkatkan diskriminasi terhadap kalangan perempuan dan minoritas seksual lainnya dengan mengatasnamakan pasal 417 dan 419 yang dinilai dapat melanggar hak privasi.

Masyarakat Indonesia berhak untuk menggunakan haknya dengan berpartisipasi dalam aturan hukum yang kedepannya dapat mempengaruhi hak asasi yang diperolehnya. Pada tanggal 16 Desember 1966, PBB menjamin hak tersebut melalui Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang kemudian diratifikasi oleh bangsa Indonesia melalui UU No.12 Tahun 2005 pada tanggal 28 Oktober 2005. ICCPR dalam pasal 25 (a) menyatakan bahwa kita berhak ikut serta dalam pelaksanaan urusan publik, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang terpilih secara bebas. Selain itu, hak sebagai masyarakat Indonesia juga dijamin dalam Pasal 96 UU No, 12 Tahun 2011 yang telah mengatur hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan perundang-undangan.

Langkah Pemerintah Indonesia dengan tidak membuka draf terbaru RKUHP kepada media dan publik dianggap melunturkan semangat transparansi kebijakan peraturan kepada masyarakat Indonesia sebagai pihak yang menjadi sasaran dari subjek hukum itu sendiri. Karena Pemerintah Indonesia enggan untuk membuka draf terbaru RKUHP maka media dan public akan menjadi buta terhadap pasal-pasal yang tertuang di dalam sudah direvisi apakah sesuai dengan aspirasi public atau malah melenceng ke arah yang tidak seharusnya. Mengingat dahulu pada tahun 2019 publik sangat tidak setuju terhadap pasal-pasal yang tertuang dalam RKUHP dan turun ke jalan, sehingga diharapkan dengan terbukanya Pemerintah Indonesia mengenai RKUHP tidak terjadi kembali aksi-aksi seperti itu dari masyarakat Indonesia.

Masyarakat Indonesia sebaiknya mendesak Pemerintah Indonesia agar terbuka terhadap draf RKUHP yang telah direvisi terhadap public dan melakukan pembahasan secara terbuka. Masyarakat Indonesia berhak berpartisipasi dalam segala urusan publik dan pemerintah juga harus melakukan transparansi dan keterbukaan informasi mengenai perkembangan Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Selain itu sebelum disahkan oleh Pemerintah Indonesia, pasal-pasal kontroversial yang tertuang dalam RKUHP harus dirombak terlebih dahulu karena aturan ini akan berdampak sangat besar bagi kehidupan bermasyarakat. Pasal-pasal kontroversial yang tertuang di dalam RKUHP seperti pasal yang dapat melanggar hak hidup dan mengekang kebebasan sipil harus dikaji ulang keberannya dengan mendengar pula masukan dari publik.

Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Indonesia semestinya diselaraskan dengan nilai-nilai modern pada masa kini, terutama yang sejalan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi yang ada di Indonesia. Proses penyelarasan ini dalam menjadi bukti bahwa Indonesia mampu berkomitmen untuk menjadi Negara di dunia yang tinggi peradabannya. Maka dari itu, segala bentuk ketentuan hukum yang tertuang RKUHP secara nyata telah mencemarkan semangat peraturan Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional baik Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, serta Konvenan Internasional hak-hak sosial, ekonomi, dan budaya ataupun konvensi-konvensi yang terkait lainnya harus diharuskan.

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) diharapkan bisa menerjemahkan pedoman tanggung jawab Negara Indonesia dalam proses untuk melindungi hak asasi manusia (HAM) warga negaranya. Norma perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) yang selaras dengan warga negaranya selain dapat mewujudkan kepastian hukum dan keadilan secara maksimal, juga diharapkan dapat melindungi warga negaranya. RKUHP juga semestinya lebih berfokus pada dekriminalisasi atas ketentuan hukum pidana yang tidak lagi relevan dan telah using dengan semangat perjuangan yang lebih menggelora. Contohnya adalah dengan menggunakan jalur non-hukum yang lebih partisipatif dalam mengalihkan mekanisme penyelesaian dari suatu permasalahan yang seringnya dihadapi.

Selain itu, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) juga dapat berpusat pada penyempurnaan aturan hukum pidana yang bersifat komtemporer agar terlihat lebih kompleks, terutama yang berkaitan dengan kejahatan kelompok kelas kakap yang nantinya dapat menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi kepentingan masyarakat Indonesia, seperti kejahatan di lingkungan sekitar, kejahatan siber, dan masalah perlindungan data pribadi. Dalam penegakan hukum pidana di Indonesia dalam bidang pemberantasan kejahatan kelompok kelas kakap dapat menjadi ajang pembuktian bahwa Indonesia merupakan negara dengan sistem hukum yang baik dan berpihak pada masyarakat kecil, serta dengan tanggap dapat merespon setiap tantangan hukum yang dihadapi Indonesia di masa depan.

Jika seandanya RKUHP yang dibentuk mengalami kegagalan dalam menjawab setiap kebutuhan dan tantangan hukum serta pemenuhan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), maka sesunggungnya sudah tidak lagi menjadi alasan proses percepatan pengesahan RKUHP tersebut. Hal ini dikarenakan RKUHP masih saja terjaring dalam logika penjajahan ketimbang dengan mengobarkan semangat perjuangan agar hukum di Indonesia benar-benar dapat membuat manusia terjamin hak asasi manusianya. RKUHP sesungguhnya dapat berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia jika pasal-pasal hukum yang tertuang didalamnya masih saja kontroversial dan disahkan di kemudian hari. Oleh karena itu, diperlukan kembali untuk dilakukan peninjauan ulang dengan aturan hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional agar dapat keluar dari penjaringan logika penjajahan yang terselumbung dibalik disahkannya RKUHP.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun