Media dan Disabilitas" pada Jumat (23/7/2021). Pemilihan tema tersebut mengacu pada peraturan terbaru Dewan Pers tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas, selain itu juga bertujuan mengajak insan pers untuk merengkuh penyandang disabilitas. Sebagai saluran yang memiliki daya jangkau luas, diharapkan media dapat memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai permasalahan seputar penyandang disabilitas.
JAKARTA - Dalam rangka memperingati HUT ke-33, Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) menggelar webinar dengan tema "Webinar tersebut dihadiri oleh dua pembicara kunci, yakni Menteri Sosial, Tri Rismaharini (diwakili oleh Dirjen Rehabilitasi Sosial, Harry Hikmat) dan Ketua Dewan Pers, Mohammad Nuh. Hadir pula sejumlah narasumber terkemuka dari kelompok disabilitas, seperti Senny Marbun selaku Ketua Umum National Paralympic Committee of Indonesia (diwakili Ketua Empat Bidang Penelitian dan Pengembangan National Paralympic Committee Of Indonesia, Sapta Kunta), Nicky Clara selaku Founder berdayabareng.com, Cheta Nilawaty selaku Wartawan Tempo, dan Wili Yatno selaku SME Channel Specialist Galeri Indonesia Blibli.
Melalui Dirjen Rehabilitasi Sosial Harry Hikmat, Menteri Sosial Tri Rismaharini mengatakan bahwa tema webinar ini dapat menjadi salah satu upaya untuk menghilangkan stigma negatif dan diskriminasi bagi penyandang disabilitas, selain juga dapat membantu mereka dalam memenuhi hak atas informasi. Berdasarkan survei tahun 2020, pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 160 juta. Namun, akses penyandang disabilitas yang dapat memanfaatkan internet hanya 8,5%. Hal ini jelas menunjukkan adanya indikasi ketimpangan yang perlu diatasi.
"Kami harap dengan adanya Pedoman Pemberitaan Ramah Disabilitas, insan jurnalistik dan pelaku media dapat lebih berfokus pada penyandang disabilitas, menampilkan peran dari disabilitas, media juga bisa memberikan fungsi pendidikan kepada masyarakat luas tentang keberadaan peran dan kondisi penyandang disabilitas," papar Harry.
Mohammad Nuh juga memaparkan bahwa negara dan masyarakat wajib berperan untuk memberi perhatian khusus kepada penyandang disabilitas. Negara wajib memberikan fasilitas agar mereka dapat mengeksplor bakat yang dimiliki sehingga memunculkan self confidence dan meminimalisir adanya stigma negatif yang disematkan kepada mereka. "Media harus mempromosikan dan menumbuhkan kesadaran tentang penting dan mulianya memberikan perlindungan dan memenuhi hak-hak masyarakat berkebutuhan khusus," ungkap Nuh.
Blibli sebagai salah satu e-commerce buatan Indonesia pun turut menyokong penyandang disabilitas di aspek ekonomi, yaitu membantu seluruh masyarakat termasuk penyandang disabilitas yang ingin membangun usaha mikro kecil menengah (UMKM) baik secara online maupun offline. Melihat banyaknya penyandang disabilitas yang memiliki bakat dan potensi dalam berwirausaha, ini membuktikan bahwa mereka mampu bersaing dengan masyarakat non disabilitas. Melalui pemaparannya, Wili Yatno mengatakan bahwa Blibli juga telah melakukan pelatihan dan mengadakan webinar, salah satunya adalah webinar bersama Disabilitas Bergerak Indonesia, yang bertema "Strategi dan Peluang Usaha Kecil dan Menengah di Tengah Pandemi Bagi Penyandang Disabilitas".
"Kesuksesan seseorang itu tidak hanya dilihat dari umur atau keterbatasan seseorang. Melainkan saat dia mau berusaha, maka kesuksesan itu akan menghampiri," pungkas Wili.
National Paralympic Committee of Indonesia (NPCI), sebagai organisasi olahraga disabilitas, berupaya untuk mengembangkan potensi penyandang disabilitas di balik kelemahan fisik dan mental melalui pembinaan olahraga. NPCI berperan sebagai wadah untuk membina dan membentuk atlet olahraga disabilitas yang berkualitas dan bertaraf internasional, serta dapat berkoordinasi pada tiap kegiatan olahraga disabilitas, baik ditingkat daerah, nasional, maupun internasional.
"Kita selalu berjuang dalam memperjuangkan kaum disabilitas, yaitu kesempatan, kesamaan, penghormatan, perlindungan, pelayanan publik, dan sosial pemberdayaan menuju peningkatan taraf hidup yang berkualitas adil, bermartabat sehingga tidak ada lagi kisah sedih disabilitas yang ditelantarkan, dieksploitasi, dan didiskriminasi," jelas Sapta Kunta.
Nicky Clara pun turut membagikan pengalamannya sebagai salah satu penyandang disabilitas daksa. Banyak disabilitas yang hanya bekerja disektor informal, bahkan jarang sekali bekerja di sektor formal. Ini terjadi karena adanya gap antara kapasitas yang dimiliki penyandang disabilitas dan kapasitas yang dibutuhkan di pasar, serta tidak tersedianya aksesibilitas yang sama-sama dibutuhkan oleh kedua belah pihak.
"Saya berharap bahwa ini adalah saatnya momen seluruh stakeholder, terutama media yang menjadi tonggak dan pilar informasi di Indonesia, mampu menyebarkan dan meningkatkan awareness bagi kesetaraan hak-hak penyandang disabilitas, khususnya dibidang pekerjaan ataupun di pilar-pilar lainnya," terang Nicky.
Pemateri terakhir, Cheta Nilawaty, juga turut menyuarakan hak-hak penyandang disabilitas. Dalam pemaparan materinya, ia menjelaskan empat kesalahan utama media dalam pemberitaan tentang disabilitas, antara lain pornografi inspirasi (penyandang disabilitas diposisikan sebagai pihak inferior), terminologi disabilitas (penggunaan kata yang kurang tepat), isu disabilitas dianggap sebagai isu yang tidak penting, dan heroisme (penyandang disabilitas digambarkan lebih hebat daripada umumnya).
Ia memberikan saran kepada para penyedia informasi untuk memberi perhatian penuh kepada penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas sensorik, karena mereka adalah sekelompok orang yang hingga saat ini masih merasa kesulitan dalam mengakses informasi.
"Untuk teman-teman disabilitas pendengaran, mungkin bisa disediakan running text tambahan untuk penggambaran deskripsi dari apa yang dibicarakan oleh narasumber apabila tidak tersedia juru bahasa isyarat. Dan bagi penyandang disabilitas netra, mohon memperhatikan mengenai aksesibilitas web atau aksesibilitas gambar," kata Cheta.
Sebagai rangkaian acara terakhir, LPDS mengumumkan Pemenang Lomba Karya Tulis Disabilitas dan Media Massa dengan tema "Menggali Potensi Mengukir Karya" dan juga pengumuman peluncuran empat buku LPDS yang ditulis oleh para pengajar, tokoh pers, praktisi pers, dan alumni LPDS. Buku pertama berjudul "LPDS 33 Tahun Mengabdi" yang berisi tentang bunga rampai peradaban kewartawanan. Buku kedua berjudul "Saya Wartawan Kompeten" yang berisi tentang petunjuk praktis uji kompetensi wartawan (UKW) berwawasan kebaruan. Buku ketiga berjudul "Bukan Demagog" yang berisi tentang bagaimana pers merawat kepercayaan publik di tengah situasi pandemi Covid-19, juga bagaimana pers memberikan berita yang positif terkait penyembuhan para pasien di masyarakat. Buku keempat berjudul "Rumah Kami LPDS" yang berisi tentang cerita para alumni LPDS yang mengikuti pelatihan atau pendidikan UKW di LPDS.
Diharapkan buku-buku tersebut dapat menjadi bacaan berharga bagi para jurnalis yang ingin meningkatkan kompetensinya, di samping itu juga berguna untuk akademisi, dosen, mahasiswa, maupun masyarakat yang berminat pada bidang jurnalistik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H