Sesaat setelah mereka menyantap makanan penutup, chocolate mousse dan apple pie, mereka kembali terdiam.
Dengan nada berat, Adi akhirnya bertanya, "Bagaimana dengan kita Din ?"
Andin menunduk lama sebelum akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap Adi.
"Kita berdua sudah tahu jawabannya sejak lama Di. Selama ini kita hanya menunda menghadapi kenyataan."
Wajah Adi berubah kelabu. Tangannya menyisir rambutnya berulang kali.
"Tapi aku tak bisa membayangkan hidupku tanpamu Din. Delapan tahun sudah kita bersama." ucap Adi lirih.
Andin mencoba tersenyum namun kesedihan tampak jelas berbayang di matanya.
"Adi, kau pun tahu bahwa ini juga tak mudah bagiku. Sudah dua malam ini aku tak bisa tidur karena memikirkanmu dan hubungan kita. Aku juga tak pernah ingin hubungan ini berakhir," tutur Andin pelan.
"Selama ini kita selalu mencoba menunda Di, padahal kita tahu bahwa kita sama-sama meyakini agama kita. Kita juga hanya akan menyakiti Bapak Ibu atau Mama Papa kalau salah satu dari kita berpindah agama," tambahnya dengan nada sendu. Getar tangis mulai muncul di suara Andin.
"Apakah kita bisa tetap berteman, Din ?" tanya Adi sambil menggenggam tangan Andin.
"Kau adalah sahabatku sejak SMA Di, kau bahkan sudah sangat dekat dengan keluargaku. Â Kau akan selalu jadi sahabatku sampai kapanpun," jawab Andin dengan nada getir.