Membuat resolusi nampaknya telah menjadi kebiasaan banyak orang menjelang pergantian tahun. Ada yang menyarankan bahwa resolusi tahun baru itu harus jelas, realistis, spesifik dan terukur. Apalagi alasannya kalau bukan agar tidak gagal maning gagal maning.
Ketika mengetahui kalau Komunitas Inspirasiana membuat event lomba bertopik "evaluasi tahun 2022 dan resolusi tahun 2023", saya malah bingung apa yang hendak saya tulis. Maklum, saya memang tidak punya kebiasaan bikin resolusi apapun.
Namun, bukan berarti saya hidup sekadar hidup, ya. Saya tetap mengupayakan untuk terus belajar dan memperbaiki diri meski dalam hal paling remeh sekalipun. Bodoh amat orang mau menganggapnya sebagai pencapaian atau tidak.
Alih-alih membuat resolusi saban tahun tapi cuma berakhir jadi teori tanpa realisasi, saya lebih suka berintrospeksi atas kekurangan diri dan bersyukur atas pencapaian atau hal-hal baik yang terjadi pada saya sepanjang tahun. Saya berpikir apa yang harus saya ubah dan lakukan agar bisa menjadi manusia yang tidak hanya numpang makan, tidur dan buang air di bumi Allah (duh, beratberat~)
Jika ada hal yang ingin saya ubah dari diri saya, utamanya adalah prokrastinasi.
Prokrastinasi saya ini bisa dibilang terbagi menjadi tiga sebab: 1.) prokrastinasi karena terlalu sok perfeksionis dan idealis; 2.) prokrastinasi karena takut gagal dan 3.) prokrastinasi karena males gerak (mager). Yang sering terjadi pada saya adalah nomor 1 dan 2.
Akibatnya, harga yang harus saya tanggung jadi terlalu mahal, yaitu penyesalan. Kalau sudah menyesal, biasanya jadi susah move on. Saya kesal sendiri mengapa kemarin tidak melakukan ini, mengambil kesempatan itu, membuat keputusan anu dan sebagainya. Nah lho, ruwet kan? Saya harap Anda tidak mencontohnya.
Ada lagi yang ingin saya ubah adalah masalah inferioritas alias ketidakpercayaan diri. Saya benci mengakuinya, tapi kenyataannya inilah musuh terbesar dan tersulit yang ingin saya musnahkan.
Dalam beberapa hal, inferioritas ini juga kompleks. Sudah inferior, kompleks lagi. Jadilah apa yang disebut orang-orang sebagai inferiority complex.
Gara-gara “penyakit jahanam” satu ini, saya jadi tidak bisa melihat diri saya secara objektif.