Aku dan Fay sudah siap di hadapan penghulu, bersama saksi-saksi dari keluarga kedua belah pihak. Beberapa sahabat dan sejumlah undangan juga sudah hadir. Rasanya deg-degan bercampur bahagia. Hidupku akan menjadi sempurna.
Tiba-tiba Mutia, sepupu kita, berlari ke arahku menyerahkan ponsel di tangannya. Aku sempat mengira kau menelepon lagi dan meminta kami menunggumu.
Tentu saja kami akan menunggumu, Kak. Kau adalah wali pernikahanku.
Aku tidak bisa menyalahkan ketika tiba-tiba mertuamu jatuh sakit dan kalian sekeluarga diminta terbang ke negeri Ginseng.
Kami juga tidak bisa menyalahkan tanggal pernikahan yang ternyata selisih sehari dengan meninggalnya ayah mertuamu.
Kau terpaksa membagi waktumu untuk kedua hal ini. Aku yakin sangat tidak enak menjadi dirimu, harus buru-buru ke Jakarta untuk mengejar waktu.
Suara petugas di ujung telepon mengabarkan sesuatu yang tidak kuharapkan. Pesawatmu mengalami kecelakaan dan kau termasuk korban luka yang tidak sadarkan diri.
Aku menangis histeris dan membuat hadirin bertanya-tanya. Semua menjadi mimpi buruk yang menghempaskanku pada kenyataan pahit. Pernikahanku dibatalkan.
Berbulan-bulan waktu yang kubutuhkan untuk melewati kemelut ini. Perlahan aku mulai bisa menerima bahwa semua adalah rencana Sang Kuasa. Jika kami berjodoh, Fay dan keluarganya pasti akan menghubungiku lagi.
***
Pagi-pagi sekali aku menumpang kereta, pulang ke kampung masa kecil kita. Aku akan mengunjungi makam ibu dan ayah.