Sebelum membaca lebih lanjut, silakan baca lima bagian sebelumnya: Terbanglah Camar (I), Terbanglah Camar (II), Terbanglah Camar (III), Terbanglah Camar (IV), Terbanglah Camar (V)
Fanny merasa bagai mimpi ketika melihat seorang wanita setengah baya berdiri di hadapannya.Â
Mama! Gaung yang lama terlupakan itu kini berdentang nyaring di hatinya. Antara rindu dan benci, ia hanya memandangi mama tanpa dapat berkata-kata.
"Fanny," Mama memanggilnya dengan bibir bergetar. "Mama minta maaf. Mama tidak pernah memperhatikan kamu. Ketika kamu kecelakaan, mama sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri. Mama ..."
"Ma ..."
***
"Kamu hebat!" Peter tersenyum hangat setelah memeriksa Fanny. "Kemajuanmu sangat pesat. Mungkin dua atau tiga hari lagi, kamu sudah boleh pulang."
Fanny memandang Peter dengan mata berkaca-kaca. Dewa penolong, batinnya, betapa miripnya kamu dengan Geld. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku sudah mati sejak kemarin-kemarin. Tetapi ...
"Hei," Peter memandangnya dengan heran. "Kamu tidak gembira, Fanny?"
"Saya gembira, dokter."
"Kelihatannya kamu ingin mengatakan sesuatu. Ada apa?"
Fanny merasa malu dalam hatinya menyadari bahwa belakangan ini ia selalu membandingkan Peter dengan Geld, dan ...
"Saya sedang membayangkan seorang gadis yang sangat beruntung mendampingi Anda, dokter."
"Kamu bisa menebak siapa dia?" Jawaban Peter di luar dugaan Fanny.
"Mungkin salah seorang suster?"
"Seorang calon dokter."
"Ia tentu cantik, dan baik, dan pintar, seperti Anda, dokter. Gadis yang sangat beruntung. Manusia seperti dokter, mungkin hanya ada satu di antara sejuta."
Peter tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Kelak, kamu akan mengerti bahwa ada banyak orang yang seperti saya, bahkan lebih baik daripada saya."
"Dokter!" Fanny berseru menahan langkah Peter.
"Bolehkah saya berkenalan dengan gadis yang beruntung itu?"
"Dia tentu akan sangat senang."
Fanny menatap punggung tegap yang melangkah meninggalkan kamarnya. Bagaimanapun, ia berutang budi kepada dokter muda itu.
Bagaimanapun, ia telah belajar dari Geld untuk menjadi camar yang tegar. Ketika badai menghempasnya, ketika ia merasa sayapnya patah, dokter muda itu muncul untuk mengobati hingga ia merasa mampu terbang kembali.
Kini, haruskah ia merasa jatuh lagi hanya karena sebuah mimpi yang tak sampai? Fanny menggelengkan kepala.Â
Tidak! Aku harus terbang kembali, dan aku percaya, masih banyak orang seperti Geld, seperti dokter muda itu, yang akan hadir dan singgah dalam hidupku ....
Tamat
Siska Dewi untuk Inspirasiana
Cerpen ini telah dimuat di Album Cerpen "Mitra" edisi khusus September 1985
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H