Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Terbanglah Camar (II)

19 Oktober 2022   11:45 Diperbarui: 24 Oktober 2022   17:35 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Terbanglah camar | Foto: Wirestock/Freepik

Sebelum membaca lebih lanjut, silakan baca bagian sebelumnya: Terbanglah Camar (I)

Fanny menatap langit biru yang cerah. Pikirannya meluncur ke masa lalu. 

Suatu hari di masa lalu, langit biru itu juga memperlihatkan keceriaan yang sama.

"Kau lihat langit biru itu, Fanny." Geld berkata dan memandangnya sambil tersenyum.

Waktu itu, mereka sedang duduk berdua di bangku kecil dalam taman antik yang memisahkan dua bangunan kampus mereka.

"Kemarin ada mendung di sana, bukan? Tapi sekarang ia kembali berwarna cerah. Seperti itulah hidup kita. Kadang-kadang memang ada tantangan, kesulitan, tapi percayalah bahwa pengharapan selalu ada."

"Tapi aku tidak berani lagi terlalu berharap," gumamnya saat itu. "Sebab pengharapan yang tidak terjangkau selalu mendatangkan kekecewaan. Dan kekecewaan itu selalu menyakitkan, Geld."

"Jangan berkata seperti itu, Fanny. Hanya orang frustrasi yang takut berharap."

"Aku satu di antara mereka, Geld. Harapanku selalu berakhir dengan kekecewaan. Aku bahkan sering berpikir bahwa Tuhan adalah sutradara yang seenaknya mengatur sandiwara kehidupan manusia. Aku selalu kebagian peran yang buruk."

Geld tersenyum bijak. "Kau keliru, Fanny." Katanya kemudian. "Tuhan memang mengatur kehidupan manusia. Tapi Ia mengatur demi kebaikan kita. Ia tidak pernah membiarkan kita dicobai melampaui kemampuan kita. Ia mempunyai kasih dan berkat yang selalu ingin dicurahkanNya kepada kita."

Kemudian Geld membimbingnya keluar dari jurang frustrasi. Geld memperkenalkan pengharapan sejati kepadanya.

Geld juga mengajaknya membuka mata lebar-lebar untuk memandang sekitarnya sehingga ia menyadari bahwa masih banyak orang yang lebih menderita dibanding dirinya.

Geld menyadarkannya bahwa papa dan mamanya adalah manusia biasa. Manusia, bukan malaikat. Sebagai manusia, mungkin saja mereka berbuat salah.

Geld lalu mengajarkan kepadanya tentang memaafkan. Ya, kehadiran Geld dalam hidupnya laksana percikan bunga api di tengah malam gelap. Bersama Geld, ia membangun kembali istana harapannya yang pernah diobrak-abrik papa dan mama hingga menjadi puing-puing.

Karena Geld, ia menghapus sedikit demi sedikit dendam dan kebenciannya kepada papa dan mama hingga akhirnya tak bersisa. Bergandengan tangan dengan Geld, ia jalani hari-hari indah bermandikan saling pengertian dan kasih.

Geld begitu berarti baginya. Ia sangat takut kehilangan pemuda itu.

***

Bersambung ke: Terbanglah Camar (III)

Siska Dewi untuk Inspirasiana

Cerpen ini telah dimuat di Album Cerpen "Mitra" edisi khusus September 1985

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun