Sebelum membaca lebih lanjut, silakan baca bagian sebelumnya: Terbanglah Camar (I)
Fanny menatap langit biru yang cerah. Pikirannya meluncur ke masa lalu.Â
Suatu hari di masa lalu, langit biru itu juga memperlihatkan keceriaan yang sama.
"Kau lihat langit biru itu, Fanny." Geld berkata dan memandangnya sambil tersenyum.
Waktu itu, mereka sedang duduk berdua di bangku kecil dalam taman antik yang memisahkan dua bangunan kampus mereka.
"Kemarin ada mendung di sana, bukan? Tapi sekarang ia kembali berwarna cerah. Seperti itulah hidup kita. Kadang-kadang memang ada tantangan, kesulitan, tapi percayalah bahwa pengharapan selalu ada."
"Tapi aku tidak berani lagi terlalu berharap," gumamnya saat itu. "Sebab pengharapan yang tidak terjangkau selalu mendatangkan kekecewaan. Dan kekecewaan itu selalu menyakitkan, Geld."
"Jangan berkata seperti itu, Fanny. Hanya orang frustrasi yang takut berharap."
"Aku satu di antara mereka, Geld. Harapanku selalu berakhir dengan kekecewaan. Aku bahkan sering berpikir bahwa Tuhan adalah sutradara yang seenaknya mengatur sandiwara kehidupan manusia. Aku selalu kebagian peran yang buruk."
Geld tersenyum bijak. "Kau keliru, Fanny." Katanya kemudian. "Tuhan memang mengatur kehidupan manusia. Tapi Ia mengatur demi kebaikan kita. Ia tidak pernah membiarkan kita dicobai melampaui kemampuan kita. Ia mempunyai kasih dan berkat yang selalu ingin dicurahkanNya kepada kita."