Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melewati Deru Prahara (IV - Tamat)

9 Oktober 2022   06:00 Diperbarui: 9 Oktober 2022   06:02 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Melewati deru prahara | sumber foto: pxhere

Dia? Siapa? Febi melangkah ke ruang tamu dengan hati bertanya-tanya.

Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Bagai tak percaya, dipandanginya sosok jangkung berkulit putih yang sedang membaca koran pagi di sofa ruang tamu. Cowok terkasih itu!

“George …” desisnya tertahan.

Cowok itu bangkit dari duduknya. Bagai dikomando, keduanya saling menghampiri.

Sedetik kemudian, sepasang tangan kokoh itu sudah memeluk Febi, erat-erat, seperti tak ingin dilepaskan lagi.

“George, kau … tidak jadi pergi?” Febi merasa dilambungkan ke sebuah benua tak bertuan yang bermandikan cahaya surgawi. Ia selalu merasa demikian setiap kali berada dalam pelukan George.

George menggeleng, kuat-kuat dan berkali-kali, seolah takut tak terlihat gelengan itu oleh Febi. Ditatapnya wajah mungil di hadapannya dengan mesra. Dihapusnya air yang menggenang di pipi itu dengan segala kelembutan yang dimilikinya.

“Semalam aku tidak dapat tidur sama sekali, Febi. Aku bergumul dengan diriku sendiri. Sampai akhirnya aku sadar bahwa aku tidak akan mampu meninggalkan negeri ini, tidak akan mampu meninggalkan kamu. Sebab di sini, di hatimu, hatiku telah tertambat.”

“Tapi …” Febi menatap George dengan ragu.

“Jangan teruskan, Febi.” George menutup mulut Febi dengan telunjuknya. “Aku tahu apa yang akan kamu katakan. Maafkan aku. Kemarin aku terlalu emosi. Aku begitu terpukul mendengar uraian paman Pedro, sampai-sampai aku menuduh Tuhan tidak menghendaki kita bersatu, dan memutuskan untuk kembali ke negeriku.”

George menghela nafas. “Semalam perasaanku gundah karena hal itu. Rasanya tidak ada damai. Rasanya ada yang menegurku, bahwa aku telah mengambil keputusan yang salah.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun