Foto mereka, George dan Febi, masih berdiri dengan manis di atas meja. Keduanya tertawa bahagia di bawah pohon cemara di halaman kampus Febi.
Di bawah foto itu, di dalam sebuah bingkai berwarna keemasan yang manis, tertera sebaris kalimat yang mereka ukir dengan tinta emas. Bunyinya: George dan Febi, pasangan abadi yang punya endless love.
Febi tersenyum getir. Dipandanginya sekali lagi tubuh cowok jangkung berkulit putih yang merangkulnya dengan mesra dalam foto itu.
Ditatapnya mata biru yang selalu bersinar ceria, sepasang telaga bening yang pernah membuatnya begitu nyaman berenang-renang di sana.
Ditatapnya rambut ikal berwarna keemasan yang selalu berkilauan ditimpa cahaya matahari. Ditatapnya hidung mancung yang sangat disukainya, senyum tulus yang mampu menggetarkan senar-senar paling halus dan tersembunyi jauh di dasar hatinya.
Ketulusan senyum itu serasa melambungkannya jauh ke sebuah benua tak bertuan yang bermandikan cahaya surgawi, ketika cowok itu membisikkan sebaris kalimat di telinganya: “kebahagiaan yang terbesar bagiku adalah saat-saat di mana aku merasa dapat membahagiakan kamu, Febi.”
Tidak ada rayuan atau kata-kata muluk berisikan sejuta janji pada awal musim bunga mereka. Tidak ada kalimat-kalimat usang yang selalu disitir anak-anak muda yang sedang dimabuk asmara.
Ya! George tidak pernah berkata: I love you, Febi; atau: You’re everything to me; atau: I can not live without you, Febi.
Tetapi, apakah kata-kata seperti itu lebih berarti dari apa yang diberikan George selama ini? Tentu saja tidak!
Kalimat-kalimat klise itu, siapa pun dapat menirukan dan mengucapkannya dengan amat mudah. Tetapi yang setiap saat siap membuat Febi bahagia, yang setiap saat siap melindunginya, menghiburnya jika ia berduka, memperhatikan setiap keperluannya sampai hal-hal yang sekecil-kecilnya, yang bersedia mendengarkan mimpi-mimpi indahnya dengan setia?
Ah, barangkali cuma ada satu orang di dunia ini. Dan Febi tahu benar, orang itu adalah George!