Rasanya luas langit dan dalam lautan pun tidak cukup untuk mengimbangi cinta George kepada Febi. Setahun lamanya mereka berjuang bersama membangun sebuah jembatan yang menghubungkan dua dunia.
Betapa banyak air mata yang terkuras, luka hati yang terpatri, dan doa-doa yang terucap pada awal perjuangan mereka. Hanya dengan modal kasih, ketabahan, dan kesetiaan, mereka berjuang bersama meyakinkan orangtua George dan orangtua Febi yang semula menentang hubungan mereka.
Masih hangat dalam ingatan Febi, bagaimana mereka berpelukan dalam luapan kebahagiaan ketika orangtua mereka akhirnya mengerti dan menyetujui hubungan mereka. Saat itu, untuk pertama kalinya, ia melihat George meneteskan air mata.
“Kau bahagia, Febi?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca.
“Aku … masih perlukah kamu tanyakan itu?” Febi meletakkan kepala ke dada George yang bidang.
George merangkulnya, membelai-belai rambutnya dengan lembut.
Febi menikmati setiap getaran yang tercipta. Menikmati sejuta kebahagiaan yang hanya dapat terungkap dalam tatap mata George, dalam belaiannya yang penuh kasih.
Saat itu, Febi baru menyadari bahwa ada kasih yang begitu lembut, begitu tulus, begitu murni, begitu indah. Febi tahu, kasih itu tak berkesudahan, tak akan habis terucapkan.
“George,” bisiknya dengan wajah tengadah.
“Hm?” George menatapnya. Dalam sepasang mata yang mirip telaga yang teduh itu, Febi membaca sebaris kalimat: “Ada apa, Sayang?”
“Kau … bahagia?”