Sebelum membaca lebih lanjut, silakan baca tiga bagian pertama:
"Dua tahun," Vava tersenyum kecil. "Kau banyak berubah. Kata Ferry, kau kuliah di Seminari."
"Kejutan besar, ya? Ferry, ah, aku mesti banyak berterima kasih padanya. Tanpa dia, aku tidak akan tahu kalau kau sudah pindah rumah. Dan aku tak perlu menyangka bahwa kau begitu dendam padaku sehingga setiap suratku kau kembalikan." Jo memandang Vava. "Ia baik sekali, ya?"
"Siapa? Ferry? Sangat baik!" Vava sengaja menekankan kata sangat. "Sebentar, aku ambilkan minum."
"Melin kangen sekali padamu," Jo menatap Vava ketika gadis itu muncul kembali dengan dua gelas air es di tangannya.
"O iya, apa kabar Melin sekarang? Sudah kelas berapa dia? Kenapa tidak kau ajak ke sini juga? Aku kangen."
"Melin sudah kelas empat, hampir kelas lima. Dia di Malang."
"Di Malang?"
"Ya," Jo tersenyum. "Masih ingat berapa kali aku gagal menemuimu ketika kita lulus SMA? Waktu itu, usaha papa jatuh. Kami terpaksa pindah ke Malang, tempat nenek. Semua harta papa disita untuk melunasi utang. Saat itu, aku merasa berat sekali meninggalkan Jakarta. Aku merasa begitu berdosa kepadamu, kepada kalian, korban permainanku dulu. Aku tidak akan tenang sebelum kalian memaafkan aku."
Vava terpana. Jadi Ferry benar. Jo betul-betul telah berubah.
"Aku berhasil menemui Faira, Hana, Mimi, Yana, dan yang lainnya kecuali kamu. Aku sadar, kamu memang lain. Setibaku di Malang, aku berusaha menyuratimu. Tapi setiap suratku selalu dikembalikan dengan alasan pindah tanpa meninggalkan alamat."
Vava ingat. Dua tahun yang lalu, mereka memang menjual rumah untuk pindah ke rumah yang lebih kecil. Sisa penjualan rumah lama setelah dipakai membeli rumah yang sekarang, digunakan untuk biaya kuliahnya.
"Aku bertekad menebus dosaku dengan masuk seminari. Aku percaya, kalau penjahat yang disalibkan bersamaNya saja Tuhan ampuni, kalau Tuhan mengampuni orang-orang yang menyiksa dan menyalibkanNya, Ia juga pasti mengampuni aku."
"Setiap malam, aku berdoa, semoga Tuhan memberikan kebahagiaan kepada kalian, gadis-gadis yang pernah kusakiti. Aku berdoa, semoga Tuhan berkenan mempertemukan kita, memberi aku kesempatan untuk meminta maaf kepadamu, dan ternyata Ia mengabulkan doaku."
Vava merasa dadanya sesak. Ia ingin menangis.
Entah berapa lama Jo menghukum diri dan tersiksa. Namun, ia masih menyimpan dendamnya sampai kemarin. Ia bahkan sempat mencurigai Jo tadi.
"Aku sedang libur dan Tante memintaku menghabiskan liburan di rumahnya. Oleh Gun, sepupuku, aku diajak meninjau persekutuan oikoumene di kampusnya yang ternyata kampusmu juga. Ketika melihat sikapmu saat melihat aku, mereka semua terheran-heran. Kecuali aku, tentu saja. Dari gurauan-gurauan mereka, aku tahu kalau kau telah menjadi gadisnya Ferry yang juga teman akrab Gun. Kami bicara terbuka dan Ferry mau mengerti. Aku bahagia melihat kau bahagia bersamanya. Vava, seperti yang diyakini Ferry, aku juga yakin bahwa kau akan memaafkan aku."
"Jo, aku juga minta maaf. Aku ...."
"Masa lalu, Vava, biarlah berlalu." Jo tersenyum tabah sambil menepuk jemari Vava. "Besok aku harus kembali ke Malang. Ini alamat rumah Nenek. Kalau ada waktu, datanglah ke sana bersama Ferry. Melin pasti senang berjumpa denganmu."
"Terima kasih," desis Vava perlahan sambil menerima kartu yang disodorkan Jo.
"Aku harus segera pamit, Vava. Masih banyak hal yang perlu kuselesaikan hari ini."
Setelah Jo pamit pada Mama, Vava mengantarnya hingga ke pintu pagar. "Sampaikan salamku untuk Melin, Jo."
Jo tersenyum. Dijabatnya tangan Vava. "Sampaikan juga salamku untuk Ferry."
Vava memandangi punggung Jo yang mulai menjauh. Ia pernah sangat mencintai pemuda itu. Ia pernah memimpikan perjalanan memetik sejuta bintang bersama pemuda itu.
Kemudian, mimpinya terhempas. Cintanya yang putih dikotori pemuda itu dengan jelaga hitam. Dan ia membencinya. Benci sekali!
Vava menarik nafas lalu menghembuskannya kuat-kuat. Semua kebencian, dendam, sirna tak berbekas setelah semua masalah menjadi jelas. Berganti dengan lagu-lagu damai yang mengalun dari lubuk hatinya .....
Tamat
Siska Dewi untuk Inspirasiana
Cerpen ini pernah dimuat di Album Cerpen "Anita Cemerlang" edisi 168, Â 1 Agustus 1985
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H