“Tapi aku sudah berusaha menutupi luka itu dan melupakannya.”
“Tapi ternyata luka itu menganga kembali setelah kau melihat Jo, bukan? Dan semua rasa kecewa, sakit hati, dendam, yang selama ini terpendam dan terlupakan, kini muncul kembali ke permukaan.” Ferry berkata dengan emosi terkendali dan senyum bijak. “Keadaan akan menjadi sebaliknya jika kau dengan tulus memaafkannya.”
“Memaafkannya?” mata Vava terbelalak. “Tidak! Sampai kapan pun aku tidak akan memaafkannya!”
“Dendam, eh? Itu tidak baik.”
“Kau bisa berkata begitu, Fer. Karena kau tidak mengalaminya ….”
“Apakah tidak ada maaf bagi seseorang yang sungguh-sungguh menyesali kesalahannya?”
“Menyesali kesalahannya? Fer, aku tidak tahu berapa banyak kebohongan yang diceritakannya kepadamu dalam perkenalan kalian yang singkat itu. Tapi pengalaman masa lalu mengajarkan kepadaku untuk tidak mudah memercayai kata-katanya. Ia terlalu pandai bersandiwara. Dan orang berhati polos macam kau … tentu mudah termakan oleh kebohongannya.”
“Vava … Vava …” Ferry menggeleng-geleng dengan senyum sabar.
“Apakah kau juga tidak akan percaya, kalau kukatakan bahwa sekarang dia kuliah di Seminari?”
Apa? Vava terbelalak dengan hati tak percaya. Jo sekarang kuliah di Seminari? Manusia yang pernah dicintai, kemudian dibenci dan dikutukinya habis-habisan, akan menjadi pendeta? Tuhan, mukjizat apa ini?
“Aku telah memberinya alamatmu,” Ferry tersenyum ketika dilihatnya mata Vava yang melebar. “Maafkan kalau kau menganggapku terlalu lancang. Tapi Jo ingin sekali bicara denganmu, sebagai teman lama.”