Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Sebungkus Mi Goreng Tergantung di Setang Motor Butut Bapak

12 April 2022   12:30 Diperbarui: 12 April 2022   12:53 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi motor butut bapak (Dokumentasi Pribadi)

Bapak tidak banyak berbicara meskipun kami hanya bertemu beberapa hari saja dalam seminggu. Hari Sabtu kami datang mengunjunginya, lalu pagi sekali pada hari Senin kami pergi lagi bersama ibu dan kedua adikku ke desa tempat ibu bekerja.

Bapak adalah seorang pendeta jemaat. Jemaat yang dilayaninya tersebar di beberapa desa yang sebagian jaraknya tidak dekat.

Ia mengendarai sepeda milik gereja mengunjungi jemaat di berbagai desa. Sepeda ini tentu saja sangat membantu saat jalanan landai atau menurun, tapi di jalan-jalan desa yang menanjak bapak kepayahan juga mendorong sepedanya.

Bapak sering kali kehujanan saat melayani persekutuan jemaat di desa-desa yang jauh. Saat pulang dari pelayanan pada suatu malam, bapak basah kuyup meskipun sudah mengenakan mantel hujan.

Kulit sekujur tubuhnya bentol-bentol karena kedinginan seperti habis digigit ulat bulu. Ia terpaksa memanaskan diri dengan mengangkangi kompor minyak dengan nyala api yang besar.

Suatu ketika, kakek dari ibu menyisihkan uang tabungannya, dan dengan ditambah sedikit uang tabungan dari ibu, mereka membelikan sebuah sepeda motor untuk bapak.

Meskipun bukan sepeda motor baru, tapi tentu saja bapak sangat senang dan terharu dengan sepeda motor pemberian ibu dan kakek itu. Sebenarnya bukan saja tidak baru, sepeda motor itu bisa dibilang sudah agak butut.

Pada beberapa bagian tangkinya ada retakan dan bocor. Setiap Minggu pagi sebelum bapak berangkat pelayanan ibadah Minggu atau kegiatan lainnya aku sering melihat dia menambalnya.

Biasanya bapak memanaskan sepeda motor di teras rumah kami saat pagi hari. Sambil memanaskan mesin motor biasanya bapak menggosok-gosokkan sabun cuci batangan untuk menambal bagian tangki motornya yang retak dan bocor.

Sesekali dia membiarkan aku ikut menggosokkan potongan sabun cuci batangan ke permukaan bagian bawah tangki motornya yang bocor itu. Aku jadi tahu fungsi lain sabun cuci batangan selain untuk mencuci.

Sementara itu, ibu sangat gigih memelihara kami anak-anaknya. Ibu tidak pernah mengeluh meskipun lebih sering sendirian merawat dan mengurus kami tiga bersaudara.

Ibu melakukan banyak sekali pekerjaan selain mengajar sebagai guru SD di kampung kami. Pernah dia memelihara ternak babi, lalu bertani, membibitkan cabe, menanam sayuran untuk diecer ke warung-warung, menjahit rok, baju, dan sebagainya.

Ibu yang mengajari kami mengerjakan seluruh pekerjaan rumah dan tugas-tugas sekolah. Ibu pulalah yang mendaftarkan aku dan adik-adkku ke sekolah dari sejak SD hingga SMP.

Namun, itu tidak membuat kami merasa bahwa kasih sayang dan perhatian bapak kurang untuk kami. Bapak mungkin saja telah menderita didera rasa rindu yang berkepanjangan. Hampir 10 tahun kami tinggal terpisah di desa yang berbeda karena pelayanan bapak sebagai pendeta dan tugas ibu sebagai guru SD di desa yang lain.

Masa-masa tidak bisa selalu berkumpul dengan keluarga itu adalah bagian dari pengorbanan bapak. Pengorbanan itu membuat kami merasakan kasih dari dalam dirinya yang muncul dalam bentuk yang berbeda.

Gaji sebagai pendeta dan guru SD pada saat itu sangatlah kecil. Tapi momen gajian bapak adalah saat-saat yang sangat kami tunggu.

Aku dan adik-adikku suka menunggu bapak pulang saat dia mengambil gaji ke kantornya di kota. Biasanya dia pulang membawa sebungkus mi goreng kesukaan kami.

Sebungkus mi goreng untuk disantap berlima sebagai lauk makan siang. Dinikmati bersama nasi putih hangat.

Pada suatu hari, kami seperti biasa menunggu bapak pulang di teras rumah. Kami berharap bapak pulang membawa sebungkus mi goreng, bihun yang dicampur kwetiau.

Tapi hari itu tidak ada bungkusan apa pun yang tergantung di setang motor bapak.

"Halo, kalian sudah menunggu bapak ya?" tanya bapak.

Meskipun tersenyum tapi kami bisa melihat perasaan sedih dan keletihan di sorot bola matanya.

"Bapak nggak bawa mi goreng?" tanya adikku.
"Ya, bapak nggak bawa hari ini. Nanti lain kali bapak bawakan ya, Nak" kata bapak sambil memandangi wajah kami bertiga.

30 tahun kemudian...

Setelah kini saya memiliki tiga orang anak, semakin aku merasakan apa makna kenangan dari 30 tahun yang lalu itu . Orang tua sering kali merasakan dilema dalam hidupnya.

Pada satu sisi mereka harus selalu tampak tegar di hadapan anak-anak yang selalu mengharapkan perlindungan dan sandaran dari mereka. Di sisi lain mereka juga merasakan letih, sedih, dan memerlukan tempat untuk mengadu.

Tapi semua orang tua yang lain juga memikul bebannya sendiri-sendiri. Bapak dan ibu yang selalu tampak biasa di hadapan anak-anak dan keluarganya, bisa jadi sering kali harus menumpahkan ratapan sambil memanjatkan doa menghadap ke tembok rumah untuk menyembunyikan air matanya.

Pada hari di mana bapak tidak membawa sebungkus mi goreng yang biasanya tergantung di setang sebelah kiri motor bututnya karena ia belum menerima gaji. Entah apa sebabnya saya juga tidak pernah menanyakannya.

Barangkali jemaat juga banyak mengalami kesulitan hidup sehingga persembahan pun tersendat. Bapak telah memberikan dirinya sepenuhnya bagi pelayanan sambil memikul tanggung jawab kepada keluarga.

Ia menerima pemeliharaan Tuhan atas hidupnya dari persembahan dan kemurahan hati jemaat. Namun, bapak tidak juga menjadi beban bagi jemaat karena ibu sudah terbiasa mengerjakan apa saja untuk memenuhi kebutuhan kami berlima.

Bagaimana pun, bapak ditemani motor bututnya telah sepenuh waktu menjadi pelayan jemaat. Tidak sempat mengolah ladang, karena jemaat dan segala pergumulannya adalah ladang pelayanannya.

Aku jadi merasa iri mengenangkan sepeda motor butut bapak. Dari sana aku menyaksikan dan belajar tentang arti mencintai dan menikmati panggilan hidup dengan pergumulannya sekaligus.

Sampai hari ini aku melihat bapak masih saja menikmati apa yang dikerjakannya. Meskipun motor butut itu kini telah tiada, dijual ibu dengan harga yang mungkin jauh di bawah nilai dan makna kenangan yang menyertainya.

Alangkah indah dan menyenangkannya kalau kita bisa melakukan apa yang kita sukai dalam hidup. Tapi bisa jadi jauh lebih mulia bila kita bisa menyukai apa yang seharusnya kita lakukan dalam hidup.

Setiap kali aku merasakan penat, letih, bosan, dan muak dengan segala hal dalam hidupku, aku jadi merasa malu bila mengingat kenangan sebungkus mi goreng yang tergantung di setang sebelah kiri motor butut bapak dari 30 tahun yang lalu itu.

Ditulis oleh TT van de Karr untuk Inspirasiana.

#Bunga Rampai Inspirasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun