Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Angelia

30 Maret 2022   06:00 Diperbarui: 3 Oktober 2022   06:06 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namaku Angelia. Bagus sekali, bukan? Bukan sombong. Tetapi nama ini memang dipilihkan papa dan mama untukku setelah melalui berbagai pertimbangan panjang.

Kalau kau mengerti Bahasa Inggris, kau pasti tahu bahwa angel artiya malaikat. Dari dongeng yang sering kau dengar di waktu kecil, engkau pasti ingat bahwa malaikat itu cantik luar dan dalam.

Ketika aku masih kecil, aku sangat bangga menyandang nama yang sangat bagus ini. Tetapi sesudah besar dan duduk di bangku Perguruan Tinggi, aku jadi sering merasa minder.

Kenapa? Karena aku merasa nama itu terlalu bagus untuk gadis sejelek aku. Karena aku merasa sama sekali tak pantas menyandang nama sebagus itu.

O iya, satu hal yang perlu kau ketahui adalah pengalaman pahit yang tidak akan pernah kulupakan. Ini terjadi dua tahun yang lalu.

Saat itu, aku masih kelas dua SMA. Aku memiliki seorang sahabat pena. Namanya Bram.

Bram adalah cowok yang menyenangkan untuk diajak bicara, meski hanya melalui surat. Ia merasa tidak enak jika berteman denganku tanpa mengenal wajahku.

Inilah yang paling aku takutkan. Bram meminta fotoku.

Aku sudah menduga jauh hari sebelumnya bahwa ia pasti membayangkan wajahku secantik malaikat dan bidadari, sesuai dengan nama yang kusandang. Itu memperkuat perasaanku bahwa sesudah mengetahui bentuk lahirku yang amat jauh dari kategori cantik ini, ia akan kecewa.

Bukankah para pemuda selalu ingin mendekati gadis cantik saja?

Tetapi mama yang selalu bijaksana menasihati aku agar tidak membohongi Bram. "Toh, cepat atau lambat, ia akan mengetahui siapa kamu," kata mama. "Tidak semua pemuda hanya menilai seorang gadis hanya dari kecantikan luarnya saja. Percayalah, kecantikan di dalam hatimu jauh lebih cantik dari gadis manapun."

Aku ingin menangis mendengar kata-kata mama saat itu. Aku tahu, mama hanya menghiburku.

Namun, aku turuti juga kata-kata mama. Kupikir, kalau Bram memang benar-benar ingin bersahabat denganku, ia tentu tidak peduli apakah aku secantik tuan puteri atau sejelek nenek sihir.

Tetapi apa yang terjadi? Bram memang tidak menyatakan kekecewaannya. Hanya ia semakin terlambat membalas surat-suratku. Lalu, ia memutuskan persahabatan sama sekali.

Bukan main! Ini sebuah penghinaan bagiku! Sejak itu, aku semakin menutup diri.

Kadang-kadang aku menyesali nasibku. Kenapa aku tidak mewarisi kecantikan wajah mama atau ketampanan wajah papa? Kenapa? Aku bahkan pernah merasa curiga, jangan-jangan aku cuma anak angkat mereka.

Aku pernah mengatakan hal ini kepada mama yang tentu saja sangat terkejut saat mendengarnya. Aku tak pernah lupa ekspresi wajah mama saat kuutarakan kecurigaan tersebut.

Saat itu, aku menyesal sejadi-jadinya. Betapa tidak tahu dirinya aku.

Hanya karena aku merasa risih dengan wajahku yang jelek, aku tega mengucapkan pertanyaan dan kata-kata yang membuat mama sedih. Aku tega meragukan kenyataan bahwa aku pernah hidup sembilan bulan dalam rahimnya.

Mama memang perempuan yang bijaksana. Mama selalu mengerti perasaanku. Selalu.

Meskipun aku sering tanpa sengaja menyakiti hati mama, ia tidak pernah marah. Seperti saat itu. Ia hanya tersenyum lembut dan bertanya, "Mengapa kamu ragu, sayang? Kalau bukan anak kandung mama dan papa, tentu kamu tidak dapat mewarisi kelembutan hati mama dan semangat serta kecemerlangan otak papa."

Rasanya aku ingin menangis sejadi-jadinya ketika mama melanjutkan, "Yakinlah, papa dan mama justru sangat bangga kepadamu. Kelembutan hatimu, semangatmu, itu lebih berarti, sayang, jauh lebih berarti dari sekadar kecantikan wajah yang cepat pudar."

Kata-kata mama terpatri erat dalam hatiku. Tidak akan pernah dapat kulupakan.

Kini, aku mendapat seorang sahabat pena yang baru. Ia mengingatkanku pada Bram.

Surat-suratnya selalu penuh dengan cerita yang menyenangkan. Tetapi, ia minta fotoku juga.

Oh, aku benar-benar menyesal dilahirkan menjadi gadis jelek. Kalau saja aku secantik Kathy, kalau saja senyumku semanis senyum Lisa, kalau saja badanku seramping badan Leli, tentu aku tidak akan keberatan memberikan fotoku kepadanya.

Tetapi kenyataannya? Angelia hanya seorang gadis yang sama sekali tidak bagus. Apakah jika Toto mengetahui keadaanku yang sebenarnya, ia juga akan berbuat yang sama seperti Bram?

Ah, pengalaman pahit itu tidak boleh terulang. Ya, tidak boleh! Aku tidak akan mau memberinya fotoku hanya untuk mengakhiri persahabatan kami.

Apa yang harus kukatakan sebagai alasan untuk menolak permintaannya? Bahwa aku jelek dan dia akan kecewa melihat fotoku?

Oh, tidak boleh! Aku tidak boleh berbuat sebodoh itu. Lalu? Ah, iya, lebih baik aku langsung bertemu dengannya.

Bukankah letak kampus kami hanya bersebelahan? Tentu dia tidak keberatan jika kuundang datang ke kampusku untuk menemuiku.

Ya, sesudah bertemu, dia bebas memilih apakah akan terus bersahabat denganku atau memutuskan persahabatan kami karena kejelekan wajahku. Setidaknya, jika ia tidak mau lagi bersahabat denganku, aku tidak perlu membuang selembar foto dengan sia-sia hanya untuk dihina.

Begitulah, pada hari dan waktu yang disepakati, kami berjumpa di kantin kampus. Aku mengenakan blus, rok, dan sepatu warna krem sesuai janjiku.

Dan dia, datang tepat pada waktu yang dijanjikan. Dia mengenakan kaus putih, jins biru, dan sepatu hitam sesuai janjinya.

Setelah pertemuan itu, dia masih saja menyuratiku. Juga masih suka datang ke kampusku. Dia sama sekali tidak berubah meski sudah mengetahui bahwa aku tidak secantik yang dibayangkannya.

Sore itu, ketika sekali lagi dia menyatakan keinginannya untuk memiliki fotoku, aku tidak malu lagi menyampaikan alasanku.

Di luar dugaanku, ia berkata dengan mantap, "Persahabatan tidak memandang kecantikan seseorang, Lia. Lagi pula, segala ciptaan Tuhan adalah baik menurut-Nya. Mengapa manusia tidak dapat menerima? Tidak ada alasan, bukan? Apa yang baik di mata Tuhan, harus juga baik di mata kita."

Aku terpana mendengar kata-katanya. Oh, Tuhan! Entah berapa lama aku menyesali kejelekan wajahku. Entah berapa lama aku tidak menghargai ciptaan-Mu. Maafkan aku, Tuhan. Maafkan .....

Cerita mini (Cermin) karya Siska Dewi.

Cermin ini pernah dimuat di album cerpen "Anita Cemerlang" edisi 133 pada tanggal 19 Agustus 1984. Ditayangkan kembali untuk Inspirasiana dengan perbaikan di sana-sini. 

#Bunga Rampai Fiksi Inspirasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun