Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kisahku di Penjara: Hantu Itu Bernama "Kooperatif" (Bagian 7)

7 Maret 2022   10:14 Diperbarui: 7 Maret 2022   10:18 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

'Koordinasi' adalah sebuah kata 'bijak' dalam sebuah rangkaian proses hukum. Ia juga menjadi 'mantra' sakti yang bisa melepaskan seseorang dari 'jeratan' hukum.

Ini pula yang memunculkan dugaan saya atas menghilangnya sebuah nama dengan nomor urut setelah saya dari display yang ada di sebuah kantor kejaksaan. Terhadap nama tersebut bahkan JPU tidak bisa (baca: tidak mau) menghadirkannya untuk memberikan kesaksian di sidang pengadilan saya, betapa pun ngototnya saya dalam tiga kali sidang meminta agar dia dihadirkan.

'Kawan' seperjalanan dari koordinasi adalah 'kooperatif'. Untuk bisa kooperatif seseorang yang menjalani proses hukum harus 'rajin' koordinasi dalam setiap tahapan proses hukum itu. Jika koordinasi cenderung berkonotasi besaran rupiah, maka kooperatif bisa diartikan mengikuti apa yang 'diinginkan' oleh pihak penyelidik, penyidik atau penuntut.

Dengan kooperatif itu seseorang yang terjerat kasus hukum akan mendapatkan angin surga berupa iming-iming mendapatkan keringanan baik dalam hal sangkaan, dakwaan maupun tuntutan. 

Pada sisi lain, sikap kooperatif itu bisa bermakna bentuk 'pengakuan' bersalah sebelum putusan pengadilan.

Seorang yang menjalani proses hukum bisa saja mengambil sikap 'tidak kooperatif' dengan konsekuensi yang menyertainya. Seorang 'kawan' dari perusahaan 'plat merah' lain, serta merta dilayar dari rutan tempat kami berkamar ke suatu tempat penahanan, sesaat setelah ia mendaftarkan permohonan pra peradilan ke Pengadilan Negeri.

Praperadilan seperti 'momok' bagi pihak penyidik. Seseorang yang mengajukan praperadilan dianggap tidak kooperatif. Hanya berselang beberapa hari, berkas kawan itu dinaikkan ke tahap penuntutan dan langsung dilimpahkan ke pengadilan.

Dengan demikian, permohonan praperadilan kawan itu menjadi gugur. Karena permohonan praperadilan itu, dalam waktu yang relatif pendek berkas perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan. Salahkah kejaksaan? Tidak, karena hal itu masih dalam koridor KUHAP dan KUHP.

Pada persidangan, kawan itu dituntut dan dijatuhi hukuman lumayan tinggi, lebih tinggi dari vonis yang saya terima. Padahal jumlah kerugian negara yang didakwakan kepadanya jauh lebih rendah daripada yang didakwakan kepada saya.

Tidak lama setelah putusan pengadilan diketuk untuknya, dia menerima dakwaan untuk berkas perkara lain dan kemudian mendapatkan putusan hukuman yang tinggi pula. Sebagai orang yang awam dalam hukum, saya hanya bisa bertanya-tanya, kok bisa ya dua perkara yang saling berhubungan dibelah menjadi dua perkara yang berbeda?

Dalam sebuah perkara yang melibatkan hampir 40 orang, beberapa orang dihukum lebih berat dari yang lainnya. Bukan karena perannya dalam perkara 'korupsi berjamaah' itu, tapi karena dianggap tidak kooperatif selama tahapan-tahapan proses hukum yang dijalaninya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun