'Koordinasi' adalah sebuah kata 'bijak' dalam sebuah rangkaian proses hukum. Ia juga menjadi 'mantra' sakti yang bisa melepaskan seseorang dari 'jeratan' hukum.
Ini pula yang memunculkan dugaan saya atas menghilangnya sebuah nama dengan nomor urut setelah saya dari display yang ada di sebuah kantor kejaksaan. Terhadap nama tersebut bahkan JPU tidak bisa (baca: tidak mau) menghadirkannya untuk memberikan kesaksian di sidang pengadilan saya, betapa pun ngototnya saya dalam tiga kali sidang meminta agar dia dihadirkan.
'Kawan' seperjalanan dari koordinasi adalah 'kooperatif'. Untuk bisa kooperatif seseorang yang menjalani proses hukum harus 'rajin' koordinasi dalam setiap tahapan proses hukum itu. Jika koordinasi cenderung berkonotasi besaran rupiah, maka kooperatif bisa diartikan mengikuti apa yang 'diinginkan' oleh pihak penyelidik, penyidik atau penuntut.
Dengan kooperatif itu seseorang yang terjerat kasus hukum akan mendapatkan angin surga berupa iming-iming mendapatkan keringanan baik dalam hal sangkaan, dakwaan maupun tuntutan.Â
Pada sisi lain, sikap kooperatif itu bisa bermakna bentuk 'pengakuan' bersalah sebelum putusan pengadilan.
Seorang yang menjalani proses hukum bisa saja mengambil sikap 'tidak kooperatif' dengan konsekuensi yang menyertainya. Seorang 'kawan' dari perusahaan 'plat merah' lain, serta merta dilayar dari rutan tempat kami berkamar ke suatu tempat penahanan, sesaat setelah ia mendaftarkan permohonan pra peradilan ke Pengadilan Negeri.
Praperadilan seperti 'momok' bagi pihak penyidik. Seseorang yang mengajukan praperadilan dianggap tidak kooperatif. Hanya berselang beberapa hari, berkas kawan itu dinaikkan ke tahap penuntutan dan langsung dilimpahkan ke pengadilan.
Dengan demikian, permohonan praperadilan kawan itu menjadi gugur. Karena permohonan praperadilan itu, dalam waktu yang relatif pendek berkas perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan. Salahkah kejaksaan? Tidak, karena hal itu masih dalam koridor KUHAP dan KUHP.
Pada persidangan, kawan itu dituntut dan dijatuhi hukuman lumayan tinggi, lebih tinggi dari vonis yang saya terima. Padahal jumlah kerugian negara yang didakwakan kepadanya jauh lebih rendah daripada yang didakwakan kepada saya.
Tidak lama setelah putusan pengadilan diketuk untuknya, dia menerima dakwaan untuk berkas perkara lain dan kemudian mendapatkan putusan hukuman yang tinggi pula. Sebagai orang yang awam dalam hukum, saya hanya bisa bertanya-tanya, kok bisa ya dua perkara yang saling berhubungan dibelah menjadi dua perkara yang berbeda?
Dalam sebuah perkara yang melibatkan hampir 40 orang, beberapa orang dihukum lebih berat dari yang lainnya. Bukan karena perannya dalam perkara 'korupsi berjamaah' itu, tapi karena dianggap tidak kooperatif selama tahapan-tahapan proses hukum yang dijalaninya.