Kedua, bagi saya pribadi dengan borgol itu saya terus dapat kesempatan salat Jumat. Ada beberapa orang yang tidak mengambil jatah giliran salat Jumat karena enggan mengenakan borgol.
Jatah giliran orang-orang inilah yang saya ambil sehingga bisa rutin Salat Jumat di masjid sampai kemudian kami bisa menyelenggarakan sendiri di dalam rutan.
Saat jumlah tahanan sudah cukup banyak, waktu itu sekitar 25 orang, kami memutuskan untuk usul agar kami bisa menyelenggarakan salat Jumat di Rutan. Usulan kami disetujui, pihak Kejati bersedia memfasilitasi kedatangan imam/khatib dari luar.
Persoalan muncul, karena ada sebagian tahanan yang berpegang kepada pendapat ulama yang mensyaratkan Salat Jumat minimal harus diikuti 40 jamaah, sedangkan kami hanya 23 orang (2 orang lagi non-muslim).
Akhirnya pihak Kejati mengerahkan seluruh staf rutan plus beberapa staf kejati untuk salat Jumat di Rutan sehingga salat Jumat bisa berlangsung dengan baik diikuti lebih dari 40 jamaah. Kami yang muslim akhirnya bisa menyelenggarakan salat Jumat sendiri di dalam rutan.
Bagaimana dengan yang non muslim yang hanya 2 orang penganut Kristen Protestan? Kami tidak bisa apa-apa, karena dengan jumlah itu pihak Kejati belum memberikan perhatiannya. Baru ketika saudara-saudara kami yang Kristiani sudah mencapai 5 orang, kami meminta izin untuk bisa menyelenggarakan ibadah bersama bagi umat Kristiani.
Mereka dengan intens berkomunikasi dengan pihak rutan dan Kejati sehingga akhirnya pihak Kejati mau memfasilitasi kehadiran pendeta dan beberapa jemaat dari luar untuk ibadah minggu.
Persoalan juga muncul karena dari 5 orang itu, 4 orang pemeluk Protestan dan 1 yang lainnya Katolik. Saya tidak sampai tahu bagaimana praktik ibadah mereka dengan mereka berlima bersama-sama menjalankan ibadah minggunya.
Ketika jumlah tahanan semakin banyak, dan kebetulan bertambah pula yang Umat Kristiani, maka kemudian mereka bisa berbagi waktu antara ibadah minggu pemeluk Kristen Protestan dan yang Katolik. Sungguh saya sangat bersyukur dalam kondisi serba terbatas kami bisa menjalankan kewajiban ibadah menurut agama kami masing-masing.
Kami bisa saling mendukung, meski kami semua baru di tempat itu saling bertemu untuk pertama kali. Saat Idul Fitri dan kami menyelenggarakan Salat Id di dalam rutan.
Saudara-saudara kami yang non-muslim ikut terlibat kesibukan mempersiapkan perayaan Idul Fitri itu. Saat kegiatan berlangsung, salah satu dari mereka menjadi fotografer dan cameraman dadakan mengabadikan momen istimewa itu.