Lanjutan dari Sendiri Menghuni Penjara Berhantu. Ini adalah kisah nyata Kang Win.
*
Hanya Kepada Tuhan Kutitipkan (Melawan Dengan Sabar, Bagian III)
Pada hari Senin, tepatnya tanggal 8 Januari 2018, di sebuah rumah sakit di Bandung. Telepon genggam saya berdering pelan. Sebuah telepon dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur yang memberitahu akan ada jadwal pemeriksaan lanjutan pada hari Selasa, 9 Januari 2018 pada pukul 10:00.
Saya minta penundaan ke hari Kamis, 11 Januari 2018 dengan alasan sedang mengurus istri saya yang dirawat di rumah sakit. Hari itu menjadi hari terakhir saya sebagai manusia bebas, karena terhitung hari itu saya menjadi tersangka dan ditahan.
Sejak saat itu saya harus menepi dari tanggung jawab mendampingi istri saya yang sedang sakit berkepanjangan dan merawat ibu saya yang sudah sepuh yang kebetulan tinggal serumah dengan saya. Juga dari tanggung jawab membiayai kuliah anak saya yang pertama dan kedua.
Tidak kalah beratnya, saya tidak lagi bisa mendampingi anak saya yang ketiga. Seorang anak perempuan satu-satunya dalam keluarga yang secara emosional lebih dekat kepada bapaknya. Ia sedang bersiap mengikuti UAN (Ujian Akhir Nasional) SMA. Sungguh ini bukan persoalan kecil bagi saya dan juga bagi keluarga saya.
Persepsi publik
Menjadi tersangka dan terdakwa, ditahan kemudian terpidana mengandung persoalan yang multi-dimensi. Sangat kompleks, jauh lebih besar dari sekedar terpisah dari keluarga.
Publik lazim melihat seseorang menjadi tahanan atau narapidana, keduanya sama saja. Ketika seseorang kemudian ternyata dinyatakan tidak bersalah atau mendapat hukuman yang lebih ringan dari ekspektasi umum, maka yang muncul adalah dugaan kekuatan keberadaan uang ikut bermain.