Termasuk ketika setiap hari berjualan es mambo keliling kampung.Â
Apa yang saya lakoni atas kesadaran sendiri. Karena uang yang terkumpul pun ditabung sendiri. Bukan untuk membantu kebutuhan sehari-hari.Â
Untuk bisa berjualan es mambo sehingga punya tabungan perlu perjuangan tersendiri. Apabila anak-anak saat ini membayangkan saja pasti sudah tak mau melakoni.Â
Namun, pada masa itu semua saya lakoni dengan hati gembira. Padahal kalau saya bayangkan kembali saat ini saya malah memuji diri sendiri.Â
Boleh dibilang hampir setiap hari saya harus bangun pukul 3 pagi untuk berjalan kaki ke tempat pembuatan es mambo bersama satu atau dua teman. Berjalan sepagi itu tanpa bantuan penerangan apapun.Â
Saya kurang tahu berapa jarak tempuhnya. Yang teringat hanya untuk pulang pergi itu memerlukan waktu paling cepat 3 jam.Â
Ketika berangkat lebih enteng karena hanya menenteng termos kosong. Sementara saat pulang sudah ada isinya. Pada musim banyak pesta bisa menenteng dua termos sekaligus. Kiri kanan.Â
Bayangkan sendiri. Untuk anak umur di bawah 10 tahun berjalan kaki sambil membawa termos yang berat sekitar 3 jam perjalanan tanpa istirahat.Â
Anehnya pada masa itu saya tidak merasakan sama sekali sebagai beban. Menjalani semua dengan hati yang polos dan sukacita.Â
Setelah sampai rumah harus buru-buru agar tidak telat sampai sekolah. Itu pun bukan hanya membawa buku, tetapi jualan jajanan bikinan ibu. Yang saya taruh di luar kelas. Ketika istirahat baru saya berjualan menawarkan ke teman sekolah. Tak ada rasa malu atau gengsi ketika itu.Â
Setelah pulang berjualan masih ada pekerjaan yang menunggu. Memberi ayam peliharaan makan, mencangkul tanah, atau menyiram sayuran. Semua ini juga menambah penghasilan.Â