Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pertolongan Pertama pada Gangguan Jiwa demi Wujudkan Kesehatan Mental bagi Semua

18 Oktober 2021   14:49 Diperbarui: 18 Oktober 2021   15:08 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi konseling psikologi untuk penderita gangguan mental | photo by SHVETS production from pexels

Hari kesehatan mental sedunia atau hari kesehatan jiwa sedunia (HKJS) diperingati setiap tahunnya pada tanggal 10 Oktober. Peringatan ini dimaksudkan untuk membangun kesadaran dan kepedulian masyarakat umum terkait pentingnya kesehatan mental.

Tahun ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengangkat tema "Perawatan kesehatan mental untuk semua : mari kita wujudkan". Tema tersebut berangkat dari kondisi pandemi Covid-19 yang berdampak besar pada banyak aspek, terutama kesehatan mental.

Masih banyak orang yang belum teredukasi atau minim kesadaran mengenai kesehatan mental, terutama masyarakat desa atau pelosok yang tidak memperoleh akses informasi tentang kesehatan mental.

Orang-orang yang memiliki masalah mental kerap distigma sebagai "orang gila" dan lemah iman. Gangguan mental juga kerap dihubungkan dengan mitos atau hal-hal gaib, seperti kerasukan setan, melanggar pantangan tertentu, terkena sihir dan sebagainya. Hal ini banyak terjadi terutama di kampung-kampung sehingga lazim ditemukan praktik pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa.

Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018 melaporkan sebanyak 14% masyarakat melakukan pemasungan terhadap anggota keluarganya yang menderita gangguan jiwa dan sebanyak 31,5% melakukannya selama 3 bulan terakhir.

Selain pengetahuan dan kesadaran tentang kesehatan mental yang masih kurang, ketersediaan fasilitas layanan kesehatan mental di Indonesia juga belum merata.

Ketersediaan layanan kesehatan jiwa di Indonesia

Laporan WHO tahun 2017 menunjukkan Indonesia hanya memiliki 48 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dan 269 unit layanan kesehatan jiwa di rumah sakit umum. Sebanyak 8 provinsi tidak memiliki RSJ dan 3 provinsi tidak terdapat tenaga psikiater.

Ketersediaan tenaga psikolog (terutama psikolog klinis) dan psikiater juga sama terbatasnya. Dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 270 juta jiwa, kita hanya memiliki 600-800 tenaga psikiater dan 1.700 psikolog klinis yang persebarannya masih terpusat di Pulau Jawa, terutama di kota-kota besar. 

Itu artinya, perbandingan antara jumlah pasien penderita gangguan jiwa dengan psikiater di Indonesia adalah 1 : 300.000 -- 400.000. Jumlah ini tentu jauh di bawah standar WHO, yaitu 1 : 30.000.

Mahalnya biaya layanan kesehatan mental juga menyulitkan masyarakat untuk memperoleh bantuan profesional.

Biaya konsultasi ke psikolog dan psikiater bervariasi. Di rumah sakit, biaya konsultasi psikiater bisa lebih murah, sekitar Rp 75 ribu-Rp 350.000 (belum termasuk obat). Ada pula yang bisa menghabiskan Rp 300 ribu -- Rp 500 ribu untuk sekali konsultasi selama 30-60 menit. Ini juga di luar resep obat.

Biaya yang dikeluarkan bisa lebih murah atau mahal tergantung berat ringannya penyakit, pengalaman psikolog atau psikiater yang menangani dan sebagainya.

Sayangnya, program jaminan kesehatan dari pemerintah, seperti BPJS, belum dapat men-cover kebutuhan para penderita gangguan mental.

Tapi cukupkah pemerataan fasilitas dan tenaga profesional untuk memberikan penanganan kesehatan mental yang lebih baik? 

Jawabannya tidak.

Ketersediaan fasilitas dan tenaga profesional di bidang kesehatan mental yang memadai belum cukup untuk mewujudkan perawatan kesehatan mental bagi semua.

Di negara maju seperti Amerika Serikat penanganan kesehatan mental saja belum ideal. Padahal Amerika Serikat punya organisasi acuan psikologi bagi hampir seluruh mahasiswa psikologi di dunia, termasuk di Indonesia, yaitu American Phsycological Associations (APA).

Dibandingkan dengan Indonesia, mereka memiliki tenaga kesehatan mental profesional yang lebih banyak. Bahkan mulai tahun 2019, 9 dari 51 negara bagian telah mewajibkan pendidikan kesehatan mental. Namun masalah kesehatan mental masih belum teratasi dengan baik. 

Hal ini dibuktikan dengan jumlah orang dewasa pengidap depresi dan tidak mendapatkan perawatan yang dibutuhkan mencapai 57,2%. Dan angka tersebut tidak menurun sejak 2011.

Hal yang ironis mengingat Amerika Serikat merupakan negara maju dengan rata-rata tingkat pendidikan dan pendapatan penduduknya yang relatif lebih tinggi. Kondisi ini seharusnya membuat mereka lebih mudah dalam mengakses layanan kesehatan mental.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi masalah ini? 

Kondisi yang begitu timpang antara jumlah tenaga profesional kesehatan mental dengan pasien membuat beban seorang psikolog dan psikiater lebih berat.

Seperti halnya penyakit fisik, ada pula pertolongan pertama yang dapat kita lakukan terhadap penderita penyakit mental. Langkah ini bisa diterapkan untuk orang-orang terdekat.

Yang pertama perlu kita perhatikan adalah apakah ada orang terdekat yang menunjukkan tanda-tanda stres berkepanjangan, depresi atau bahkan punya pikiran untuk bunuh diri (suicidal thought). 

Jika ada, kita bisa mendekati secara aktif dengan menanyakan keadaannya dan mendengarkan permasalahannya tanpa menghakimi. Hargai dan berikan validasi atas pandangannya mengenai masalah yang ia hadapi.

Tapi kita juga harus menghormati dan tidak memaksanya untuk bercerita jika ia belum siap. Tidak perlu memaksakan bantuan kepadanya jika belum mau atau merasa belum butuh. 

Kalau ia merasa butuh bantuan profesional, kita bisa mendukungnya dengan memberikan informasi bermanfaat seputar pengobatan kesehatan jiwa dan bila ia perlu ditemani, luangkan sedikit waktu untuk menemaninya berobat.

Jangan pula bersikap menggurui apalagi membanding-bandingkan masalahnya dengan masalah kita atau orang lain. Hal itu hanya akan membuatnya lebih terpuruk.

Dan yang juga tidak kalah penting adalah kita tetap harus menjaga keselamatan diri kita sendiri. Jika ia punya kecenderungan untuk menyakiti orang lain, kita tentu harus lebih hati-hati. 

Kita juga tidak perlu memaksakan diri untuk mendengarkan ceritanya saat kondisi jiwa dan emosional kita sedang tidak baik-baik saja. Kita bisa tawarkan padanya untuk cerita di lain waktu ketika kondisi jiwa dan emosional kita sudah lebih baik.

Wasana Kata

Penderita gangguan jiwa butuh dukungan dari orang-orang terdekatnya untuk sembuh. 

Pertolongan pertama pada gangguan jiwa mungkin tidak memberikan kesembuhan secara signifikan seperti halnya pengobatan oleh profesional, tapi setidaknya kita telah membantu meringankan masalahnya dan mencegahnya dari melakukan tindakan yang dapat menyakiti serta membahayakan hidupnya.

Ditulis oleh Luna Septalisa untuk Inspirasiana

Referensi : Riset Kesehatan Dasar 2018; Pradila, D.A.;  Adam, A.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun