Cerita rakyat "Putri Tangguk" berasal dari daerah danau Kerinci, Kabupaten Kerinci, Jambi. Cerita rakyat ini adalah legenda yang sudah diwariskan turun-temurun.
Di Kerinci, cara bercerita dinamakan "bakunun" atau mendongeng. Biasanya, orang tua akan bercerita kepada anak-anaknya, kakek dan nenek kepada cucunya, dengan cara bakunun. Isi cerita biasanya tentang pelajaran hidup yang ditanamkan kepada anak-anak.
Berikut ini adalah tayangan video animasi cerita "Putri Tangguk", cerita rakyat dari Kerinci, Jambi.
Cerita rakyat ini menceritakan kisah seorang perempuan bernama Putri Tangguk. Ia hidup bersama suami dan ketujuh orang anaknya. Mereka bekerja sebagai petani dan mempunyai sebidang sawah.
Mereka bekerja keras sampai anak-anak terkadang nyaris tidak terurus. Hubungan dengan kerabat dan sanak saudara juga menjadi tidak begitu dekat. Seolah yang ada dalam pikiran mereka hanyalah bagaimana agar lumbung selalu penuh.
Walaupun sawah mereka hanya sepetak, tapi hasilnya selalu melimpah. Setiap kali seusai panen, tanaman padi kembali tumbuh subur, begitu seterusnya.
Kehidupan Putri Tangguk sekeluarga sangat berkecukupan. Pada suatu hari, Putri Tangguk beserta suami dan anak-anaknya berjalan ke sawah untuk memanen padi.
Jalan yang mereka lalui licin karena hujan baru saja usai. Putri Tangguk terpeleset jatuh. Ia marah, memaki, serta mengumpat kepada jalan yang licin itu.
Ketika mereka pulang dari memanen padi, Putri Tangguk menaburkan benih padi sepanjang jalan. Maksudnya agar jalan itu tidak licin lagi.
Persediaan padi di lumbung sudah penuh kini. Putri Tangguk tidak ke sawah lagi.
Pada suatu hari, seorang anak Putri Tangguk merengek ingin makan. Putri Tangguk melihat tempat nasi di dapur sudah kosong, dan persediaan beras juga sudah habis. Putri Tangguk heran karena lumbung padinya juga sudah kosong.
Pada malam harinya, Putri Tangguk bermimpi didatangi orang tua yang mengatakan bahwa Putri Tangguk sudah menyia-nyiakan padi dengan membuangnya di jalanan. Mereka sekeluarga akan hidup sengsara karena telah menyia-nyiakan padi itu.
Putri Tangguk sangat menyesal, padi di sawah miliknya kini tidak mau tumbuh lagi. Namun, penyesalan yang datang kemudian itu, kini tiada artinya lagi.
Wasana Kata
Dari cerita rakyat ini kita bisa mengambil pelajaran bahwa: Pertama, kita tidak boleh sombong, melainkan tetap rendah hati, walaupun kita hidup berkecukupan. Kedua, kita harus tetap bersyukur dan menghargai apa yang kita miliki. Kita jangan menyia-nyiakan apa yang kita miliki. Ketiga, kita harus berbagi walaupun sedikit. Hidup berbagi memberi manfaat untuk orang lain.
Demikian cerita rakyat dari Kerinci, Jambi ini. Semoga bermanfaat.
Ditulis oleh Fatmi Sunarya untuk Inspirasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H