Suasana ini sangat riuh dan mengocok perut. Apa yang diperagakan di depan mata menjadi sebuah hiburan tersendiri. Setelah selesai, mereka kemudian menuju ke rumah lain hingga semua pohon pisang ludes diserbu.
Terkadang ada talik ulur antara pemilik rumah dan anak-anak. Tuan rumah yang ingin agar dilaksanakan habis magrib memakai strategi belum memasang kue. Sebab jika kue sudah digantung artinya sudah siap dirabas.
Walau demikian, desakan anak-anak tetap membuat tuan rumah luluh. Jika sudah begini maka siap-siap, belum sempat semua digantung ke buah pisang sudah ada komando agar secepatnya direbut.
Saya yang menyaksikan ini hanya tergelitik. Mengingat di kala kecil juga melakukan perayaan yang sama. Namun bedanya, dulu murni hanya khusus anak-anak kecil. Berbeda dengan saat ini ketika anak remaja pun turut ikut merampas.
Padahal, perayaan soan ini diharapkan dapat memotivasi anak-anak kecil lain. Artinya biarkan anak-anak yang merayakan prosesi "rabas" agar mereka merasakan betapa serunya kegiatan itu.
Namun karena banyak remaja yang justru menyerobot membuat anak-anak ini, tak berani ikut dan hanya menjadi penonton. Bahkan, banyak orang tua yang marah atas apa yang mereka lihat.
Pada initinya, perayaan ini merupakan salah satu perayaan yang selalu ditunggu-tunggu menjelang akhir ramadan dan menjelang perayaan Ela-ela.
Anak-anak yang sampai pada tahap akhir berpuasa selalu antusias dan bersemangat. Bahkan penampilan dipersiapkan, pun dengan anak-anak yang dan sudah merayakan soan, mereka juga tampil dengan penampilan terbaik versi mereka.
Antusiasme ini adalah kultur kebudayaan yang hingga kini belum sedikit pun bergeser. Justru semakin kuat dipertahankan dan dipraktekan. Sebuah kondisi yang menurut hemat saya adalah kondisi kekayaan kebudayaan yang melekat erat dan dirawat oleh masyarakat desa.Â
(Sukur Dofu-dofu) Oleh Fauji Yamin untuk Inspirasiana