Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sudah Tahu Ada Desa Unik Bernama Desa Gadungan?

28 Februari 2021   16:10 Diperbarui: 28 Februari 2021   16:19 3120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puskesmas Desa Gadungan - Dokpri d'Ley

Pertama kali mengikuti MMD (Musyawarah Masyarakat Desa) bidang kesehatan untuk mewakili Bapak Kepala Puskesmas yang sedang ada rapat di Kabupaten. Tentu saja ada kata sambutan yang harus disampaikan.

Saat itu saya menyampaikan kata sambutan seperti ini, “…yang terhormat Bapak Kepala Desa Gadungan, ini kepala desa yang asli bukan kepala desa yang gadungan, kan?” Sontak Bapak Kepala Desa tersenyum-senyum manis disambut tawa para undangan yang hadir saat itu.

Benar, saat itu saya sedang ada di desa Gadungan. Salah satu desa yang ada di Kecamatan Puncu Kabupaten Kediri Provinsi Jawa Timur. Desa ini terletak di daerah dataran rendah, di sebelah utara Gunung Kelud.

Gadungan, kalau menilik kata ini di KBBI, bisa berarti palsu, bukan yang sebenarnya (tentang orang yang menyamar sebagai polisi, pemimpin, dan sebagainya). Gadungan juga bisa berarti jadi-jadian (tentang manusia yang menjadi harimau, dan sebagainya).

Saya jadi bertanya-tanya. Bagaimana sejarah nama Desa Gadungan ini muncul? Apakah ada hubungannya dengan sesuatu yang palsu? Seperti alamat palsu yang dipopulerkan oleh Ayu Ting Ting. Eeyyaa….Hahaha…..

Maka, berselancarlah saya ke dunia maya. Dengan sekali klik saya menemukan website baru dari Desa Gadungan. Pada bagian Profil Desa, ada pilihan bila ingin mengetahui sejarah Desa Gadungan lebih terperinci.

Sejarah Desa Gadungan ini dibagi menjadi 2, yaitu sejarah sebelum tahun 1763 M dan sejarah sesudah tahun 1763 M. Sejarah sebelum tahun 1763 M lebih ke arah kisah legenda yang turun-temurun beredar di masyarakat. Sedangkan sejarah sesudah tahun 1763 M sudah tercatat dalam kronologi kepemimpinan desa Gadungan yang telah berganti-ganti kepala desa sejak tahun 1763 hingga saat ini.

Sejarah Sebelum Tahun 1763 M

Pada mulanya, disebutkan bahwa nama desa ini adalah Negoro Marumi, dan dipimpin oleh Soetowidjojo. Dia mempunyai 2 orang putra, bernama Djoko Begadung dan Clontang Koesoemo, serta seorang putri bernama Dewi Soetiyem (Melati Putih).

Demi melestarikan Negoro Marumi, maka Soetowidjojo berikhtiar dengan bertapa di Gunung Songgoriti. Tampuk pemerintahan diserahkan kepada Djoko Begadung.

Konon pada suatu hari, Negoro Marumi kedatangan dua orang tamu dari Negoro Bali. Tamu kakak beradik itu bernama Kebo Lelono dan Kebo Kusumo. Maksud kedatangan mereka ingin melamar Dewi Soetiyem.

Kedua tamu ini dijamu makan dengan lauk daging kerbau yang dicampur dengan santan dari gadung, sehingga selesai makan kedua orang ini mendem (mabuk). Karena sikap kedua tamu ini sombong, maka ditolaklah lamaran mereka.

Mengetahui lamarannya ditolak maka terjadi peperangan, di mana akhirnya kedua tamu dari Negoro Bali ini kalah dan melarikan diri ke arah timur. Mereka beristirahat di suatu tempat dekat Belik (sendang) yang dibuat oleh Dewi Soetiyem.

Di sendang tersebut mereka haus dan meminum air sendang yang ternyata berbau busuk. Oleh Kebo Lelono, tempat itu akhirnya dinamakan Larangan.

Djoko Begadung mengejar kedua tamunya sampai di daerah Kasreman. Dari sana, Djoko Begadung melanjutkan perjalanan mencari pertapaan orang tuanya.

Di tengah perjalanan sampailah ia di sendang, dan ia mandi di sana dengan sukaria berlebihan, sambil ciblon-ciblon. Itu adalah permainan anak-anak ketika mandi di sungai atau di pemandian, dengan cara menepak-nepakkan telapak tangan pada permukaan air, sehingga menimbulkan bunyi tertentu. Ia berteriak-teriak kegirangan.

Soetowidjojo yang mendengar suara riuh dari pertapaannya berkata, “Yen ing atase manungsa adus, ora kaya mengkono. Kuwi sipate kewan.” Artinya, kalau manusia mandi tidak akan seperti itu. Itu seperti hewan.

Maka Djoko Begadung berubah wujud menjadi seekor harimau. Djoko Begadung meraung-raung memanggil orang tuanya yang sedang bertapa.

Orang tuanya pun datang, sehingga terjadilah pertemuan mengharukan antara ayah dan anak, yang sudah berubah wujud menjadi harimau tersebut. Soetowidjojo menyesal dengan kata-katanya yang menjadi kutukan bagi anaknya. Lalu ia menamai tempat itu Sebaluh.

Akhirnya Djoko Begadung diajak pulang Soetowidjojo ke Negoro Marumi. Dalam perjalanan, mereka dihadang sekawanan harimau liar. Terjadilah perkelahian di tempat itu.

Sebelum berkelahi, Djoko Begadung mengasah kukunya pada sebatang pohon Jabon, sehingga pohon tersebut rusak. Oleh Soetowidjojo, tempat itu dinamakan Jabon Garut.

Perjalanan berlanjut lagi, kali ini Djoko Begadung dan Soetowidjojo bertemu dengan Kebo Lelono dan Kebo Kusumo. Terjadilah pertempuran kedua kalinya.

Saat itu pusaka Bondan milik Kebo Lelono berhasil direbut oleh Djoko Begadung dan digunakan untuk membunuh Kebo Lelono dan Kebo Kusumo. Kemudian pusaka Bondan tersebut disembunyikan Djoko Begadung di dalam tanah, di bawah pohon beringin.

Beberapa bulan setelah sampai di Negoro Marumi, datanglah Dewi Ambarsari, istri Kebo Lelono, beserta kawan-kawannya dari Negoro Bali dengan tujuan mencari suaminya. Kedatangan Dewi Ambarsari disambut oleh Soetowidjojo.

Karena kesaktiannya, Soetowidjojo mengetahui maksud kedatangan Dewi Ambarsari. Sedangkan Dewi Ambarsari yang belum pernah mengetahui Negoro Marumi yang dituju suaminya, mencoba bertanya pada Soetowidjojo, “Apakah ini Negoro Marumi ?”

“Bukan, ini Negoro Gadungan,” jawab Soetowidjojo.

“Apakah di sini ada yang bernama Dewi Soetiyem?” tanya Dewi Ambarsari lagi.

“Tidak ada. Di Negoro Gadungan yang ada nama Melati Putih,” jawab Soetowidjojo lagi.

Tipu muslihat yang dibuat oleh Soetowidjojo ini mengandung maksud untuk menyelamatkan Negoro Marumi dari peperangan dengan Negoro Bali. Setelah mendengar jawaban Soetowidjojo itu, maka Dewi Ambarsari dan kawan-kawannya meninggalkan Negoro Marumi, atau yang sudah disebutkan berganti nama menjadi Negoro Gadungan.

Sejarah Sesudah Tahun 1763 M

Negoro Gadungan kedatangan dua orang pemuda, yaitu Adi Soewarno dan Mangku Kusumo. Konon kedua pemuda ini adalah putra dari seorang wedono (pembantu bupati atau pembantu pimpinan wilayah Daerah Tingkat II atau kabupaten, membawahi beberapa camat) di Jawa Tengah. Setelah berada di Negoro Gadungan, Adi Soewarno berganti nama menjadi Kedud, sedangkan Mangku Kusumo berganti nama menjadi Trunoredjo.

Pertama kali Negoro Gadungan dipimpin oleh Kedud, tetapi tidak bisa membawa kesejahteraan untuk rakyatnya. Kemudian pimpinan diserahkan kepada Trunoredjo, adiknya.

Pada saat itulah rakyat Gadungan merasa lebih bahagia dan tentram. Apalagi setelah ditemukannya pusaka Bondan, yang dulu pernah disembunyikan oleh Djoko Begadung di bawah pohon beringin. Pada saat pusaka Bondan diambil dari dalam tanah, keluarlah mata air yang diberi nama Sumber Bedji.

Sampai saat ini, masyarakat Desa Gadungan masih menghormati leluhurnya. Setahun sekali mereka mengadakan bersih desa, mengadakan selamatan dan berziarah ke pemakaman keluarga Kedud, yang sekarang dikenal sebagai Punden Mbah Kud (Punden Bakud), dan dilanjutkan ke punden Sumber Bedji.

Pada saat selamatan di Punden Sumber Bedji, diadakan tayuban. Dikeluarkanlah pusaka Bondan dan ditaruh di atas bokor, dikelilingi oleh orang-orang yang hadir dengan iringan Gending Landrangan.

Hikmah sejarah

Nah, setelah membaca dua versi sejarah desa Gadungan di atas, ternyata memang ada peristiwa perubahan wujud seorang anak pemimpin menjadi harimau jadi-jadian. Juga ada pemalsuan identitas alamat dan orang.

Ada hikmah yang bisa diambil dari dua peristiwa tersebut. Mungkin ada pro dan kontra atas peristiwa tersebut. Namun, yang penting adalah bagaimana cara kita menyikapi suatu peristiwa, dan mengambil pelajaran kehidupan untuk masa depan yang lebih baik.

Desa Gadungan selalu berbenah diri hingga sekarang. Buktinya, pada tanggal 5 Desember 2016 yang lalu, Desa Gadungan memenangkan salah satu kategori penilaian anugerah desa di bidang Inovasi Administrasi Masyarakat.

Hal tersebut dikarenakan Pemerintah Desa Gadungan telah melaksanakan pelayanan masyarakat yang berbasis tekhnologi informatika, sehingga pelayanan dapat lebih cepat dan efisien. Peningkatan kualitas pelayanan terhadap masyarakat dilakukan dengan SIMAYANDU (Sistem Pelayanan Terpadu) agar dapat melayani warganya yang mencapai lebih dari 18.000 jiwa. Suatu jumlah yang cukup banyak untuk ukuran jumlah warga desa di Kabupaten Kediri.

Desa Gadungan merupakan salah satu desa dalam wilayah kerja UPTD Puskesmas Puncu. Terdiri dari 7 dusun, yaitu Gadungan Barat, Gadungan Timur, Jatirejo, Kapasan, Sumber Bahagia, Templek dan Tondomulyo. Memiliki 5 Sekolah Dasar, 2 Madrasah Ibtidaiyah, 9 Taman Kanak-Kanak, 13 posyandu balita, dan 1 posyandu lansia.

Masyarakatnya ramah dan memiliki rasa toleransi yang baik. Tempat yang saya rindukan untuk dikunjungi setiap tahunnya.

Kunjungan dalam rangka penyuluhan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan dasar bagi anak sekolah. Sayang, masa pandemi ini membatasi kerinduan untuk bisa berkumpul dalam kerumunan.

Kehidupan terus berjalan. Perubahan adalah hal abadi yang akan selalu terjadi. Berkelindan silih berganti. Ada hal-hal baik dan buruk yang berjalan berdampingan.

Saat ini Desa Gadungan semakin berkembang ke arah lebih baik. Ada wisata Watu Gajah yang misterius dan menarik wisatawan. Konon keberadaan Watu Gajah atau batu gajah ini terkait kutukan seorang penggembala yang sakit hati setelah cintanya ditolak gadis setempat. 

di Dusun Sumber Bahagia Desa Gadungan Kecamatan Puncu Kabupaten Kediri Jawa Timur - damarpanuluhnusantaranews.com
di Dusun Sumber Bahagia Desa Gadungan Kecamatan Puncu Kabupaten Kediri Jawa Timur - damarpanuluhnusantaranews.com
Ada industri rumah tangga pembuatan genteng, arang, dan bata merah. Geliat UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) juga mulai terlihat. Durian Bokor dan Durian Gapu yang menjadi unggulan desa Gadungan, yang sempat menghilang pasca erupsi Kelud, kini mulai tumbuh lagi, mekar dan berbuah. Durian Gadungan rasanya enak, asli lho… hehehehe.

# Ditulis oleh d’Ley, Puncu, 26 Februari 2021

Sumber: 1 dan 2

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun