Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Membaca Klise Derita Bumi pada Potret Langit Warna-warni

12 Februari 2021   00:19 Diperbarui: 12 Februari 2021   00:50 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Guguran abu vulkanik Gunung Sinabung, Karo, 11/02/2021 (Dok. Teo Tarigan)

"Siapakah di antara kita, yang sewaktu mengangkat mata ke langit atau melayangkan pandangan ke segala penjuru bumi, membuka hatinya dan mengingat Sang Pencipta?" (Yohanes Calvin)

Ceritanya, orang "orang gila" berkumpul tadi sore sambil ngopi. Dalam kegilaannya, mereka sepakat untuk jujur mengatakan kebenaran di atas fakta, bahwa mereka tidak pernah berusaha untuk menjadi tampak waras, sehingga mereka benar-benar tak perlu mengingat apakah mereka memang pernah berusaha untuk waras. Awalnya, ceritanya adalah tentang langit.

Yah, untuk semua hal di kolong langit ada waktunya. Ada waktu bekerja, ada waktu untuk pesta. Dari sekian banyak hal yang berubah, adakah yang sampai sekarang masih bisa tetap sama?

Apa yang terjadi hari ini, dulu pun mungkin sudah pernah terjadi, tidak ada yang baru di bawah kolong langit. Bahkan sejarah pun termakan oleh waktu.

Menyadari bahwa masa kini akan segera menjadi masa lalu, dan masa depan segera akan menjadi masa kini, tidakkah lebih baik untuk mulai memikirkan sesuatu yang baik, bermanfaat dan terpuji? Bila sudah melakukannya, mungkin lebih baik untuk menjadikannya lebih baik lagi.

Bila memang belum melakukannya, setidaknya mulailah untuk memikirkannya dulu. Bukankah pikiran yang baik adalah modal besar untuk bisa bertindak lebih baik lagi? Sudah umum diketahui, bahwa tindakan yang baik berasal dari perbendaharaan pikiran yang baik.

Bersyukur Setiap Kali Memandang Langit

Segala sesuatu yang bisa terjadi di bawah kolong langit ini tidak terlepas dari kehendak Sang Pencipta. Oleh sebab itu, segala sesuatu yang bisa dijalani sampai pada saat ini sangat patut untuk disyukuri.

Bila direnungkan dalam keheningan, tidakkah saat ini Dia sedang mengirimi kita pesan, termasuk lewat lukisan warna-warni di langit? Bahwa di saat bumi, udara, tanah, air, dan langit bergoncang, hingga tampaknya manusia tidak akan cukup kuat untuk bertahan, kita perlu mengetahui, bahwa hanya Dia yang mampu menyertai kita senantiasa sampai kepada akhir zaman.

Anak pramuka pun tahu, bahwa panduan arah dari kompas yang tetap menunjuk arah Utara, hanyalah komplemen dari fungsi rasi Bintang Utara. Terbukti, bila kompas hilang atau rusak, maka cukuplah untuk mengarahkan pandangan ke langit untuk mencari Bintang Utara di antara kelamnya malam. Itu adalah panduan navigasi untuk menentukan arah perjalanan agar tidak tersesat, hingga bisa tiba di tujuan atau setidaknya untuk bisa tiba di titik penjemputan.

Dalam pengungsiannya dari Perancis ke Basel (Swedia) pada tahun 1535, Yohanes Calvin menuliskan sebuah buku berjudul "Institutio." Itu adalah salah satu karya besarnya, yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1536.

Dalam sebuah bab, Calvin menuliskan tentang karya Allah yang memperlihatkan kebesarannya kepada setiap orang, melalui penyataan dalam alam semesta ciptaanNya. Katanya, "Kemana juga kita layangkan pandangan, tiada bagian dunia betapa kecil pun, yang tidak menunjukkan sedikit-dikitnya secercah kebesaranNya."

Tidak terhitung bukti-bukti, baik di langit maupun di bumi, yang menegaskan kepada kita, hikmatNya yang mengagumkan. Bukan hanya rahasia-rahasia alam untuk penelitian khusus, yang atasnya memerlukan penguasaan ilmu falak, kedokteran, dan seluruh ilmu fisika. Namun, hal-hal yang sudah terpampang begitu jelas, sehingga yang paling kasar dan paling dungu pun cukup mampu untuk menangkapnya, sampai tidak dapat membuka mata tanpa menyaksikannya.

Manusia yang tidak mempelajari ilmu-ilmu tadi pun, tidak akan terhalang untuk melihat suatu seni yang begitu besar pada karya-karyaNya. Oleh sebab itu, akan menimbulkan kekaguman mereka kepada pembuatnya. Mungkin, salah satu kesimpulan atas uraian ini adalah, "Tidak ada seorang pun yang kepadanya Allah tidak memperlihatkan hikmatNya dengan berlimpah-limpah."

Berbagai fenomena yang terlukis di langit adalah salah satu bukti kesaksian yang jelas dari alam, mengenai bangunan dunia yang begitu indah tertibnya.

Potret Langit Warna-Warni (Dok. Teo Tarigan)
Potret Langit Warna-Warni (Dok. Teo Tarigan)
Klise Derita Bumi
Manusia berharap, Sang Pencipta yang menyediakan.

Terdengar klise? Ya, bisa saja. Sebab ide atau ekspresi atas konsep yang terkesan pasrah atau pasif ini sudah terlalu sering didengungkan, bahkan sudah terdengar menyebalkan.

Namun, tunggu dulu. Klise juga berarti gambar negatif film pada potret. Mungkin, anak zaman kini sudah tidak mengenal potret yang sudah ditinggalkan dan dirasa kuno ini. Tidak mengherankan, sebab manusia masa kini tinggal jepret, unggah, dan membagikan potret-potret, tanpa perlu mencetaknya.

Ya, potret yang berasal dari negatif film ini, tidak akan bisa dinikmati sebagaimana warna aslinya bila tidak dicetak. Menariknya, klise atau negatif film dengan gambar berwarna, komplemennya berasal dari warna-warna yang terdapat pada objek yang difoto. Objek warna merah akan membentuk cyan (hijau biru) pada film, warna hijau membentuk warna magenta (merah biru), sedangkan objek warna biru akan membentuk warna kuning pada film. Negatif film ini bila dicetak akan menjadi foto-foto berwarna, yang disebut gambar positif.

Perubahan negatif film menjadi gambar positif dalam cetakan klise ini, dapat dijadikan analogi "lukisan" kehidupan nyata yang jauh melampaui apa yang dapat kita pikirkan dan mintakan dalam doa kepada Sang Pencipta. Dengar, lihat, dan saksikan saja berbagai kisah kehidupan yang inspiratif dan kadang tak masuk akal dari orang-orang "biasa."

Kalau bukan karena cara kerja Sang Maha Pencipta yang melampaui segala akal, lalu apa yang bisa membuat semuanya bisa terjadi? Tampak misalnya dari kisah kehidupan saudara-saudari yang hidup dalam himpitan, keterbatasan, dan penderitaan, 

Guguran abu vulkanik Gunung Sinabung, Karo, 11/02/2021 (Dok. Teo Tarigan)
Guguran abu vulkanik Gunung Sinabung, Karo, 11/02/2021 (Dok. Teo Tarigan)

Bahkan tidak perlu ber-apologetika untuk menyatakan pembelaan akan kenyataan itu. Karena telah terbukti, ketika dunia kehilangan semua keajaibannya, ketika masa muda, kekuatan, ilmu pengetahuan, teknologi, kecantikan, ketampanan, dan uang tidak lagi berharga, dunia mungkin tidak tahu lagi jalan lain, selain berpaling kembali kepadaNya.

Ada sebuah kisah dari sebuah novel yang berjudul "Dunia Anna" yang ditulis oleh Jostein Gaarder. Secara misterius 70 tahun sebelum terjadinya, Anna yang merupakan nenek dari Nova, menuliskan apa yang merupakan keresahan-keresahan Nova kelak. Keresahan tentang bumi yang sudah tidak seindah dulu lagi, tentang spesies yang punah, tanah-tanah yang tenggelam, es kutub yang meleleh, dan sebagainya.

Kisah di novel ini mengajak pembaca untuk kembali merenungkan eksistensi manusia dan alam semesta. Seolah kita boleh saja berharap akan sebuah penyelamatan dunia. Namun, tidak ada jaminan bahwa yang menanti kita di depan adalah sebuah langit baru dan bumi yang baru.

Novel filsafat ini seolah tampak meragukan bahwa ada kekuatan dari luar bumi yang akan turun dan menerapkan pengadilan. Melainkan, manusia akan diadili oleh manusia masa depan, para penerusnya sendiri. Manusia yang lupa memikirkan masa depan penerusnya, dan para penerus yang tidak akan pernah melupakan kegagalan para pendahulunya.

Manusia dilukiskan sebagai primata yang sangat suka bermain-main, inventif, dan berlebihan. Namun, ia mudah sekali lupa bahwa pada dasarnya ia adalah bagian dari alam. Manusia yang begitu sukanya bermain-main ini menghamburkan segala sesuatu, hingga permainan itu lebih didahulukan ketimbang tanggung jawabnya atas rumah tempat tinggalnya sendiri, planet bumi.

Relasi dalam suatu komunitas global dengan sirkumstansi digital, semakin merambah hampir semua sendi kehidupan. Lihat misalnya, belanja untuk pembelian kertas, hekter, pensil, pulpen, penghapus, dan benda-benda tulis menulis dalam arti yang sebenarnya, kini telah bergeser menjadi belanja gadget, paket data internet, dan segala asesorisnya.

Bila dulu komunikasi bergerak linear dan simetris, kini menjadi sirkular dan bergerak serentak. Seisi dunia kini tampak seolah sudah berada dalam genggaman tangan atau di saku celana. Namun, semakin canggih manusia dan segala piranti pendukungnya, tidakkah justru terasa semakin banyak tantangan dan semakin sulit untuk saling memahami?

Manusia mungkin semakin irit memakan kertas, tetapi di saat yang sama, manusia juga semakin rakus menghisap paket data. Seperti hukum kekekalan energi pada ilmu fisika, bahwa tidak ada energi yang hilang, hanya berubah bentuk saja.

Sikap hidup menghemat kertas, barangkali semata-mata hanya karena semakin sedikit kayu untuk ditebang sebagai bahan pembuat kertas. Belanja manusia pada dasarnya tidak pernah berkurang, hanya bentuknya yang berubah.

Membutuhkan waktu yang cukup untuk merenung-renungkan penderitaan dari orang-orang yang harus menanggungkan penderitaan sejak awal hidupnya. Saat di usianya mereka mungkin seharusnya merasakan keceriaan, tapi harus menanggung derita. Bila derita dan ceria adalah dua kondisi bertentangan yang datang dan pergi silih berganti, sebagai suatu bentuk keseimbangan, maka kehidupan lebih nyata dari pada pendapat siapa pun tentang kenyataan.

Bila sampai hari ini ada manusia yang menderita, tapi masih bisa terlelap dalam tidur, bisa jadi itu bukan karena dorongan hasrat untuk segera menjemput fajar pagi esok hari. Namun, karena keletihan dan renungan-renungan yang tak kunjung mendapatkan pengertian.

Bila bagi sebagian manusia, horison adalah tapal batas jarak pandang, tempat pertemuan gunung, langit dan perairan, maka bagi manusia yang lain, horison adalah tempat jatuhnya matahari dalam senja. Sementara itu, bagi sisa manusia lainnya, horison adalah tempat munculnya matahari pada keesokan harinya.

Horison senja (Dok. Teo Tarigan)
Horison senja (Dok. Teo Tarigan)
Ditulis oleh TT van de Karr untuk Inspirasiana.

Rujukan:

1. Film negatif warna (Wikipedia)

2. Jostein Gaarder, Dunia Anna, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun