Ada sebuah kisah dari sebuah novel yang berjudul "Dunia Anna" yang ditulis oleh Jostein Gaarder. Secara misterius 70 tahun sebelum terjadinya, Anna yang merupakan nenek dari Nova, menuliskan apa yang merupakan keresahan-keresahan Nova kelak. Keresahan tentang bumi yang sudah tidak seindah dulu lagi, tentang spesies yang punah, tanah-tanah yang tenggelam, es kutub yang meleleh, dan sebagainya.
Kisah di novel ini mengajak pembaca untuk kembali merenungkan eksistensi manusia dan alam semesta. Seolah kita boleh saja berharap akan sebuah penyelamatan dunia. Namun, tidak ada jaminan bahwa yang menanti kita di depan adalah sebuah langit baru dan bumi yang baru.
Novel filsafat ini seolah tampak meragukan bahwa ada kekuatan dari luar bumi yang akan turun dan menerapkan pengadilan. Melainkan, manusia akan diadili oleh manusia masa depan, para penerusnya sendiri. Manusia yang lupa memikirkan masa depan penerusnya, dan para penerus yang tidak akan pernah melupakan kegagalan para pendahulunya.
Manusia dilukiskan sebagai primata yang sangat suka bermain-main, inventif, dan berlebihan. Namun, ia mudah sekali lupa bahwa pada dasarnya ia adalah bagian dari alam. Manusia yang begitu sukanya bermain-main ini menghamburkan segala sesuatu, hingga permainan itu lebih didahulukan ketimbang tanggung jawabnya atas rumah tempat tinggalnya sendiri, planet bumi.
Relasi dalam suatu komunitas global dengan sirkumstansi digital, semakin merambah hampir semua sendi kehidupan. Lihat misalnya, belanja untuk pembelian kertas, hekter, pensil, pulpen, penghapus, dan benda-benda tulis menulis dalam arti yang sebenarnya, kini telah bergeser menjadi belanja gadget, paket data internet, dan segala asesorisnya.
Bila dulu komunikasi bergerak linear dan simetris, kini menjadi sirkular dan bergerak serentak. Seisi dunia kini tampak seolah sudah berada dalam genggaman tangan atau di saku celana. Namun, semakin canggih manusia dan segala piranti pendukungnya, tidakkah justru terasa semakin banyak tantangan dan semakin sulit untuk saling memahami?
Manusia mungkin semakin irit memakan kertas, tetapi di saat yang sama, manusia juga semakin rakus menghisap paket data. Seperti hukum kekekalan energi pada ilmu fisika, bahwa tidak ada energi yang hilang, hanya berubah bentuk saja.
Sikap hidup menghemat kertas, barangkali semata-mata hanya karena semakin sedikit kayu untuk ditebang sebagai bahan pembuat kertas. Belanja manusia pada dasarnya tidak pernah berkurang, hanya bentuknya yang berubah.
Membutuhkan waktu yang cukup untuk merenung-renungkan penderitaan dari orang-orang yang harus menanggungkan penderitaan sejak awal hidupnya. Saat di usianya mereka mungkin seharusnya merasakan keceriaan, tapi harus menanggung derita. Bila derita dan ceria adalah dua kondisi bertentangan yang datang dan pergi silih berganti, sebagai suatu bentuk keseimbangan, maka kehidupan lebih nyata dari pada pendapat siapa pun tentang kenyataan.
Bila sampai hari ini ada manusia yang menderita, tapi masih bisa terlelap dalam tidur, bisa jadi itu bukan karena dorongan hasrat untuk segera menjemput fajar pagi esok hari. Namun, karena keletihan dan renungan-renungan yang tak kunjung mendapatkan pengertian.
Bila bagi sebagian manusia, horison adalah tapal batas jarak pandang, tempat pertemuan gunung, langit dan perairan, maka bagi manusia yang lain, horison adalah tempat jatuhnya matahari dalam senja. Sementara itu, bagi sisa manusia lainnya, horison adalah tempat munculnya matahari pada keesokan harinya.