Berdasarkan catatan yang dikutip dari Hasyim (2019) terdapat 12 sub etnis dan 13 bahasa lokal yang ada di Ternate dengan corak kehidupan sosial masyarakat kental dengan budaya Islam sehingga kota ini juga disebut sebagai Kota Madani.
Suku asli dikenal dengan suku Ternate dengan bahasa yang digunakan ialah bahasa Ternate. Kebanyakan dari mereka bermukim di Ternate Pulau dan sebagian besar berprofesi sebagai nelayan, petani dan PNS.
Kehidupan dengan ragam sosial budaya tersebut terangkai dalam satu frasa yakni "Marimoi Ngone Futuru Masidika Ngone Foruru yang berarti ajakan ke arah solidaritas dan persaudaraan antar entis. Menurut Hasyim (2019) corak kebudayaan ini adalah modal pembangunan yang paling berharga untuk dikembangkan.Â
Dengan berbagai ragam suku tersebut tentu bahasa menjadi kendala utama. Karena itu, bahasa yang digunakan untuk komunikasi ialah Bahasa yang dikenal dengan bahasa pasar (kosakata misalnya: ngana, kita, torang, dan dorang) serta bahasa Indonesia.
Walaupun bercorak Islam bukan berarti di Kota Ternate tidak ada agama lain. Justru di sini agama yang diakui negara bisa hidup berdampingan dengan toleransi yang sangat tinggi.
Hal ini sudah terjadi sejak lama di mana dalam penelitian Rosdian Arby, jejak arsitektur tua di kampung tengah pada abad ke 18 yang dipengaruhi oleh beragam agama menjadi bukti budaya dan toleransi umat beragama di Kota Ternate.Â
Kota Pariwisata
Kota Ternate juga dikenal sebagai Kota Pariwisata. Ya, Ternate kecil namun memikat. Selain wisata sejarah, pertunjukan seni, kuliner, dan juga alam.
Panorama yang indah, pantai yang bersih,air laut yang jernih dengan gugus kepulauan menjadi nilai tersendiri. Banyak tempat yang bisa dikunjungi.
Aneka jajanan seperi air goraka, pisang goreng, dipadukan dengan sambal dan kenari menggugah rasa. Sembari menikmati sunset kita dapat melihat anak-anak mandi (batobo) air asin hingga nelayan-nelayan yang sedang memancing. Sukur dofu-dofu