Senyaman-nyamannya tinggal di pedalaman karena jauh dari keramaian dan kerumunan yang menentramkan hati, orang pedalaman juga perlu ke kota untuk memenuhi kebutuhan hidup. Demikian kira-kira ungkapan pas untuk saya, guru pedalaman di Kabupaten Mappi, Papua.Â
Membahas tentang belanja kebutuhan sehari-hari antara distrik saya tinggal dan distrik tetangga sering kali membuat saya merasa tercekik. Sebut saja beras 10 kg harganya bisa mencapai Rp 180.000, bensin 1 liter seharga Rp 15.000, dan gula untuk 1 kg seharga Rp 25.000.Â
Harga barang tersebut jika dibandingkan dengan harga di ibu kota distrik tetangga bisa lebih murah, kurang lebih selisih Rp 5.000 hingga Rp 10.000.
Selama saya tinggal di Papua, untuk menjangkau desa tetangga demi memenuhi kebutuhan, transportasi yang biasa saya gunakan adalah ketinting milik masyarakat setempat. Ketinting sendiri merupakan perahu kayu yang menggunakan motor luar dengan poros panjang yang dipasang di bagian sisinya.Â
Biaya perjalanan ke distrik tetangga menggunakan ketinting untuk pergi pulang cukup banyak menguras kantong, yang mana untuk pergi pulang sendiri dapat mengeluarkan uang sebesar Rp 500.000.Â
Namun, jika ingin akses yang lebih cepat, masyarakat di sana juga menawarkan jasa speedboat seharga Rp 6.000.000. Mungkin hanya ada di Papua harga sewa semahal itu. Â
Perbedaan harga sewa ketinting yang 12 kali lebih murah dari speedboat juga mempengaruhi waktu tempuh perjalanan. Untuk sampai di ibu kota distrik tetangga (Bade) dengan menggunakan ketinting butuh 10-12 jam, sedangkan speedboat waktu tempuh hanya memakan waktu 3 jam.Â
Sungguh, dua jenis transportasi dengan kelebihan dan kekurangan yang signifikan ini membuat pengguna seperti saya perlu mempertimbangkan dengan matang sebelum memutuskan untuk menggunakannya.