Apa kabar? Melihat, baik kita sadari atau tanpa kita sadari tuntutan dan standar pencapaian hidup manusia semakin dikejar mengikuti dinamisnya perubahan zaman. Jujur, membuat diri saya megap-megap karena terlalu hanyut dalam arus itu. Membuat diriku lupa cara untuk menikmati hidup.
Ya, sangat relevan jika dikaitkan dengan teori kebutuhan bertingkat menurut Abraham Maslow. Maslow mengungkapkan, manusia mempunyai hak untuk mencapai tahap aktualisasi diri, namun kadangkala terputus atas situasi masyarakat yang menolaknya sehingga berdampak pada masalah kejiwaan sosial serta perilaku yang menyimpang (Minderop dalam Hikma, 2015).
Kebutuhan akan aktualisasi diri membuat manusia selalu berada di titik keamanan dan kenyamanan. Maka, insecurity dan narsistik sama-sama bisa menjadi boomerang bagi diri masing-masing. Insecurity dan narsitik terjadi jika dalam kapasitas yang berlebihan.
Perlu, pengendalian diri untuk meminimalisir itu semua. Secukupnya, sesuai takarannya. Narsistik dan insecurity dapat tumbuh secara beriringan. Cermin menyediakan ruang untuk itu.
Cermin, bisa sebagai media untuk merealisasikan hasrat aktualisasi dirinya. Ya, bagaimana rasanya ketika diri kita sedang asik berkaca? Pasti, kita akan dihadapkan dengan situasi kericuhan dalam isi kepala kita. Misalnya “Ah aku gendutan. Tapi tidak apa-apa, gendutpun aku tetap menarik kok.”
Pastinya akan banyak suara nurani kita yang bermunculan bak melontarkan pujian, hinaan, atau justru kekhawatiran?. Seperti “Ah tidak! jerawat yang terpaku diwajahku, sangat menganggu sekali. Membuatku napak seperti buruk rupa. Memang benar kata orang itu, seperti itu.” Sesederhana itu, namun dapat bisa merusak sekaligus mengembangan rasa percaya diri seseorang itu.
Krisis kepercayaan diri karena terlalu memusingkan respon dari orang lain adalah awal bibit munculnya insecurity ataupun narsistik. Ya, keduanya bisa dijadikan sebagai situasi dimana menolak realitas yang ada di dalam dirinya.
Perasaan tidak bersyukur muncul, di samping di depan banyak orang dirinya mengusahakan eksistensi dirinya, Agar dirinya tetap dianggap ada, walaupun sebenarnya dia luput dan jauh terperosok kehilangan jati dirinya. Tetapi ia memaksa dirinya, walaupun terperangkap di situasi tersebut. Ia menanggalkan dirinya, berbaur dengan lingkungannya atas dasar kepalsuan. Ya, seperti itulah. Menyakitkan.
Hal ini juga diperkuat, dari sentuhan tangan di cermin. Melambangkan manusia menyadari realitas perubahan yang terjadi terhadap keanehan, kekhawatiran, ketakutan yang membuat dirinya merasa tercekik. Tanpa dirinya sadari, itu hanya suara nurani saja yang sedang bertengkar.
Menyentuh dengan satu jari telunjuk bisa diibaratkan seseorang sedang merasa ragu-ragu dan gelisah. Gelisah terhadap segala hal, baik dirinya sendiri maupun dirinya ketika menghadapi situasi dari kepelikan yang ada.
Ya, sesuai realitas bukan? Diriku mengakuinya terus-menerus mengalaminya, hingga kelabakan. Mungkin, ini keresahan tersirat yang dirasakan oleh pengambil gambar.